kisah Nabi Muhammad SAW
Tuesday, January 22, 2013
0
komentar
kisah
Nabi Muhammad SAW yang kita idolakan. sampai lah kita ke Nabi kita, idola kita
Rasulullah SAW. marilah kita sering2 bersalawat kepada baginda, agar kita
mendapatkan syafa'atnya.
dalam
sebuah hadis dikatakan umat yg paling sombong adalah umat yang apabila diajak
untuk berselawat dia acuh.
nah
ini mudah mudahan bermanfaat untuk sodara semua.
Ketika
cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja
menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali
sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid.
Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang
rasul yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah
kehidupan. Dan ketika malam mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan
Nabi tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT,
dan sebagai bukti kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah
SWT menyampaikan salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan
keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai bentuk
pujian dan permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin bersalawat
kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya
Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja,
namun Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau
saw datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk
seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu kecuali
sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat
dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang
dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah
pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan
Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau
saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib
membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan ternyata mendapati
dirinya di pertengahan malam, keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun yang
terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di
langit, dan dunia tampak di selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu
kemah dan tidur. Belum lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat,
sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jela
s kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan
perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul
Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya
perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam. Belum
lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri
di tempat tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit,
lalu ia membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti
zamzam? Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh,
bahwa pasti zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara
yang datang dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban
selain satu jawaban dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji
dan berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur
itu sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh
orang-orang yang berhaji.
Abdul
Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia
memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang
mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari pukulan
kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan bahwa sumur itu
telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari
terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui orang-orang,
dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat
tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang
ada dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang
diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari
berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara
berhala yang bernama Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya
sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur.
Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya
seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang dapat menolong dan
memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada
saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin
suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi
keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi dalam keadaan
sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada
Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan
mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali
sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi
Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu
langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun, istrinya
melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki
sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh
anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi
besar.
Abdul
Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul
Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu,
yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk
pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya,
lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak
itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada disekitarnya berusaha
memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah
disembelih.
Abdullah
saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia telah dapat
menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang
pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari orang lain.
Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan
Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia
menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh
karena itu semua manusia datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya.
Para pembesar Quraisy berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami
daripada ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan
baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia
seandainya kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan
biarkan kami bertanya kepada dukun."
Abdul
Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan
kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun.
Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang kalian miliki?" Mereka
menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata: "Datangkanlah
sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah,
jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu
ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga tidak keluar lagi nama
Abdullah."
Kemudian
dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar.
Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah
sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar nama Abdullah sehingga
mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah
mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka
saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga berlinangan air mata,
kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian
disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di
situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh
oleh binatang-binatang buas.
Abdul
Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan
untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar
dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang
untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan
Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling
dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah
api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui
tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan
Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan
orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas dan burung makan darinya.
Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu
hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti
kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy
menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab
bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat
tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi
bersama kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu
adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah
mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia
meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah
bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima
tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati
orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke istrinya. Aminah
tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan
pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya
dengan seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian baginya.
Tidak
lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit,
ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah menangis dua kali,
pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali ini ia menangis untuk anak
yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan. Aminah tidak pernah
mengetahui sebelumnya bahwa janin yang dikandungnya akan menjadi anak yatim,
ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak
yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta
orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang terakhir dan
rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang dihadiahkan kepada
manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali orang yang merasakan
penderitaan dan kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum dilahirkan telah
menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu hilanglah tangisan
penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering, namun kesedihannya tampak
menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama kehausan.
Kemudian
kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai
tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya tidaklah
memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin yang
dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah, dan
seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada wanita yang
lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah
manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari kelahirannya.
Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati Mekah.
Abrahahh
adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah
setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia membangun suatu gereja yang
menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya dengan niat agar
orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah. Ia melihat betapa
orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan ketika ia tidak melihat
gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu dan tidak mampu menarik
hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk menghancurkan Ka'bah,
sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi melainkan ke gerejanya.
Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi dengan
berbagai senjata, kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan
Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk
menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita gunakan saat
ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut. Memang orang-orang Arab
saat itu terkenal sebagai penyembah berhala, meskipun demikian mereka sangat
memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini
bahwa mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara
Ka'bah.
Perjalanan
pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman
yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab
untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa orang yang mengikutinya.
Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu
dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan kafir yang besar itu. Kemudian
Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga
sempat ditentang oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat
mengalahkan mereka dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian
ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh
setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata kepadanya bahwa
sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi
berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya
dari rumah berhala mereka, di mana mereka membangun di dalamnya berhala yang
bernama Latha kemudian mereka mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada
Abrahahh letak Ka'bah. Ketika Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia
mengutus seorang pemimpin pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana
ia merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara
yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat
itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka,
serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan
utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan gejolak pada kabilah-kabilah.
Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum Khananah. Kemudian mereka
mengetahui bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan Abrahahh,
sehingga mereka membiarkannya, lalu tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang
datangnya pasukan yang kuat yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa
oleh utusannya itu, Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi
mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak
menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui
Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang keinginan Abrahahh. Abdul Muthalib
berkata: "Kami tidak ingin memeranginya karena kami tidak memiliki
kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah
kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah rumah-Nya dan tempat
suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka demi Allah kami tidak memiliki
kekuatan untuk mempertahankannya." Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul
Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul
Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia memiliki
kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh melihatnya,
Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh memuliakannya dan
mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia duduk bersamanya di kursi
kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari kursinya dan duduk di atas sebuah
permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada
penerjemahnya: "Katakan padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib
berkata: "Kebutuhanku adalah agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor
unta yang diambilnya dariku" Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian,
wajah Abrahahh berubah, lalu ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan
padanya sungguh aku merasa kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian
saat berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus
ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang merupakan
simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk menghancurkannya dan
dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib menjawab: "Aku
adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah Tuhan yang
melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan mampu melindunginya
dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah
dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan unta yang
telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan
menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk
meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya kota
Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung
di dekat kota Mekah kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul
Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama dengan sekelompok
orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT dan meminta
perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan gajah-gajah tidak
melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di tempatnya dan menaati
perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima pukulan yang dahsyat
namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya, gajah-gajah itu tampak
gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu menolak untuk bergerak
dan tidak bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya: "Mengapa pasukan
tidak bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa gajah-gajah menolak
untuk bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin
melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari
saat itu bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari
bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat pandangannya ke
arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang
hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa.
Itu adalah sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai awan
yang tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah
semakin berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut itu kini
menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di tengah-tengah pasukannya
agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa. Kemudian terbukalah salah satu
jendela dari jendela al-Jahim, dan burung-burung itu menghujani pasukan dengan
batu dari Sijil, yaitu batu yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi
Luth. Batu itu menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika
Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui bagaimana peristiwa yang
menimpa pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa Anda berada di hadapan
suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia
mengenali sebagian darinya setelah empat belas abad dari peristiwa tersebut.
Buku-buku itu mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang
dahsyat.
Para
tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa di mana daging-daging dari tubuh
mereka berceceran di jalan. Abrahah pun mendapatkan luka dan mereka keluar dari
tempat itu dalam keadaan dagingnya terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah
dadanya dan mati. Kemudian jasad para pasukannya tersebar dan berceceran di
bumi, seperti tanaman yang dimakan oleh binatang. Setelah mendekati setengah
abad, turunlah suatu surah di Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah
kamu tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara
gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka
'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang
berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti daun yang dimakan (ulat)."
(QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan
gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka
dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya.
Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang yang tinggal di
rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala
yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah memeliharanya
karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT menginginkan sesuatu bagi rumah
itu; Allah SWT ingin melindunginya agar tempat itu menjadi tempat yang damai
bagi manusia dan supaya tempat itu menjadi pusat dari akidah yang baru dan
menjadi tanah bebas yang aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar
dan juga tidak didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah.
Yang demikian itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang
lahir di sana seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan
ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu belum dilahirkan
dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di atas pundaknya dan
belum menjadi rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah yang ingin
menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi
yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha menentang kehendak Ilahi
sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan mukjizat yang mengagumkan.
Datanglah banyak burung dengan membawa batu-batuan yang tidak didengar suaranya.
Kemudian burung-burung melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah beserta
tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan
agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang mengetahui bahwa Nabi Islam telah
bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tidurnya di perut ibunya dan mulai
memasuki kehidupan yang keras di muka bumi.
Di
tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya dan selamatnya
Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia menyaksikan
dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah keluar dari dirinya
suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat dan terbentang hingga langit.
Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya namun ia tidak mengetahui tafsir dari
mimpinya.
Berlalulah
hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur dari malam Senin hari
keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan seorang anak kecil yang
yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, seorang cucu dari
Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum
ia dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan dunia sangat besar
kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah berlalu 600 tahun dari
kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi ajaran cinta, bahkan
keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap kepada sebagian kelompok mereka
dan kejernihan ajaran tauhid telah ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah
meninggalkan wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat
dari emas. Dan setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas
yang khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi
oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka menyerahkan
diri mereka kepada pembohong.
Ketika
jantung dunia telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari timur suatu mata
air keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya separo dunia. Dan mukjizat
besar terjadi ketika mata air ini mengeluarkan air yang jernih dari jantung
gurun yang paling besar ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab.
Berkenaan dengan penggambaran masa tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan:
"Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada mereka,
baik orang-orang Arab maupun orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di
tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian bertanggung jawab
untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada cinta, keadilan, kebebasan,
serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah dari tempat kelahirannya
terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul 'Athiq dan sekitar Ka'bah yang
dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia
disembah di dalamnya dan manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang
kuno ini—yang dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang
terbuat dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat
itu mengalami titik terendah.
Sementara
itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh
orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana karena melarikan diri dari
penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di situ bagaikan srigala-srigala
di atas tanah yang tersubur di mana mereka melakukan monopoli dalam
perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka dengan memanfaatkan orang-orang
Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Para
cendikiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari emas sampai
Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan menampakkan
sebagiannya; mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk memperkaya diri
mereka. Pada saat orang-orang Yahudi menyembah emas dan sangat lihai melakukan
persekongkolan, orang-orang Arab justru menyembah batu dan mereka pandai
berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair lalu menggantungkannya di atas
tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab hidup di bawah naungan sistem kesukuan di
mana kepala suku adalah pemimpin dan nilainya sebanding dengan anak buahnya,
dan kemampuan mereka dalam berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat dari asal
muasalnya serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya serta kebanggannya
kepada nasab yang merupakan kemuliannya, juga kefanatikannya terhadap berhala
tertentu yang merupakan agamanya. Jadi, segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan
tidak terbentuk kecuali dalam ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau
kesukuan.
Sedangkan
di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali yang lemah,
namun belum sampai kehilangan kekuatannya. Orang-orang Romawi sangat menyanjung
kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri Arab, orang-orang Persia
menyembah api dan air. Api tetap menyala di tempat peribadatan mereka di mana
manusia rukuk untuknya. Dan di sana terdapat danau Sawah yang dianggap suci
oleh mereka.
Sementara
itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgasananya dan memberikan
keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu didengar dan dilaksanakan.
Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan menolaknya. Orang-orang
Persia berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan
yang dahsyat di muka bumi. Meskipun mereka memiliki kekuatan yang sangat luar
biasa, namun penyembahan api jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan
betapa kekuatan mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan
mereka terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin
meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan yang lebat
di mana di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan seorang yang lemah dan
di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di
tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di tenda
Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang disembah oleh kaum
Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia, bahkan robohlah
empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa bahwa penderitaan yang
besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua sebagai simbol dimulainya
kehancuran kejahatan atau keburukan di muka bumi dan terbebasnya akal manusia
dari penyembahan terhadap sesama manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat
khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran
Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang
menunjukkan kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran
Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling meyakinkan dan yang
paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran yang bertugas untuk
menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi. Tentara Al-Qur'an adalah tentara
yang paling adil dan paling berani untuk menghancurkan orang-orang yang lalim.
Kita akan melihat dalam sejarah Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah
mengelilingi Ka'bah sebelum kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar
biasa setelah kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada
saat beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh awan di waktu kecil,
bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan untuk
meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak kecil
seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus kepadanya sehingga Jibril
as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya,
mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat pada kepribadiannya dan
pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi mukjizatnya yang terbesar setelah
Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani yang tinggi di mana beliau mampu menahan
penderitaan di jalan Allah SWT. Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul
berbagai macam rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang diembannya secara
sempuma dan sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang mukjizat
Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau tidak mempunyai mukjizat
selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar biasa selain
membebaskan pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan
Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk menciptakan kesamaan,
persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka, namun Muhammad saw diberi
karunia untuk mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara
orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika
Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari
kuburan, Muhammad bin Abdillah menghidupkan orang-orang hidup dari kematian
mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu adalah bentuk kematian yang paling
berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari kegelapan dan kebodohan menuju
cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman
sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi padanya,
bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk menghadirkan singgasana
musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap kemampuannya, sehingga
mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw justru mengabdi kepada Islam hanya
sebagai seorang tentara yang sederhana. Beliau mengetahui bahwa ketika beliau
lalai sesaat saja dari dakwah di jalan Allah SWT, maka kesempatannya dalam
menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di
saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat
dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat. Tidak
ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau mencegah
datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud. Karena itu,
hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para pasukan mukmin berusaha
salat secara bergantian: sebagian mereka salat dan sebagian mereka bertugas
untuk menjaga.
Allah
SWT berfirman:
"Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud
(telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah
terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah
masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun untuk melindunginya dan
menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa keletihan para nabi dan
orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam menyampaikan ajaran
Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang besar.
Pada
masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan mukjizat-mukjizat
kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum tersebut mempercayai apa
saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tidak menghadirkan
kepada kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah
SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan memerintahkannya untuk
mengangkat gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman kepada Taurat, atau
untuk menjatuhkan gunung tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui hal yang
Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi mereka di atas
tanah dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas kepala mereka yang
diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tak
pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah beberapa orang kepadanya dan puaslah
beberapa orang kepadanya dan matilah bersamanya orang-orang yang mati dalam
keadaan puas. Beliau tidak membawa pedang kecuali saat panah yang beracun
mendekati jantung Islam dan mengancamnya.
Dakwah
para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa
kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca indera
menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan masa
turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah hal yang
maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak terdapat
orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu menyerap
kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam adalah bahwa ia
tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam diturunkan untuk setiap masa.
Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah memasuki masa kematangan berpikir yang
mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali
disebutkan dalam risalah-Nya adalah "iqra'" (bacalah). Di samping
itu, risalah tersebut mengandung pemikiran yang universal, sistem yang membangun,
dan hukum yang mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang
sempurna.
Adalah
tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana mereka
tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang menambah kehormatan
Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di tengah-tengah masa kematangan
berpikir, dan beliau diutus sebelum datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai
lipat cobaan yang pernah dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan
menanggung berbagai lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang
pernah dialami oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana
para nabi mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika beliau mengimami mereka
di saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan Mi'raj. Meskipun demikian,
ketika beliau keluar pada suatu hari menemui sahabat-sahabatnya dan mendapati
mereka mengutamakan para nabi dan mendahulukannya atas mereka, maka beliau
justru menampakkan kemarahan dan wajahnya berubah. Beliau berkata:
"Janganlah kalian mengutamakan aku atas Yunus bin Mata."
Melalui
pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu pondasi pemikiran yang harus
dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi memang memiliki derajat tertentu di
sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang lebih afdal atau yang lebih mulia
daripada yang lain. Siapakah yang menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun
selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim hendaklah mereka berhenti pada batas
tertentu yang seharusnya mereka berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap
para nabi. Selama Allah SWT menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk
penghormatan dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya,
dan selama Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka juga
bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk shalawat
itu sendiri.
Sementara
itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun gajah.
Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke telinga kakeknya bahwa
cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke tempat itu dan
membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di Ka'bah sambil
memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau dengan nama-nama yang
mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung menentukan nama yang paling tepat
buat cucunya, bahkan kebingungannya itu berlanjut sampai enam hari, sehingga
sang Nabi disunat. Ketika malam telah menyelimuti kawasan Mekah, datanglah
kepadanya suara yang sama yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya yang
memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara itu
membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti
Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang
Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan
kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara
yang didengarnya saat mimpi, "Muhammad." Nama tersebut sebenamya
tidak umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa
Abdul Muthalib tidak memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang biasa
dipakai di kalangan mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin
Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami
tidak mengetahui dorongan apa yang mendikte Abdul Muthalib untuk menyatakan
kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari realitas kebanggaan
orang-orang Arab yang populer atau berasal dari realitas kebanggaan
tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan yang dalam dengan
kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari suasana ruhani yang
jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa menjawab. Yang dapat kami
ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan layak menyandang predikat manusia
yang dipuji di bumi dan dipuji oleh Allah SWT di langit seperti predikat yang
disandang oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi
Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau ditinggalkan oleh
ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya. Allah SWT berfirman:
"Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS.
adh-Dhuha: 6)
Allah
SWT melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan
seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia mengasuhnya dan
melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang tidak begitu penting,
sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah kita berada di hadapan manusia
yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya sejak masih kecil. Allah SWT
mendidiknya saat beliau masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman saat
beliau masih janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih kecil, dan
dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan keterasingan di
tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan
penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya sejak usia dini
untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya,
ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa banyak
dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk mengasuhnya. Adalah sudah
menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia
mengirim anaknya ke kawasan dusun agar anak tersebut menyerap dan menghirup
udara segar serta memperoleh mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita
yang menyusui anak-anak lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang
kaya. Namun ketika pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang
biasa menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah
kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama
anak kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan kami tidak
memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami kemiskinan yang luar biasa.
Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani
Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak yang masih menvusu agar orang tua mereka
dapat membantu kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang
yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu semua disebabkan oleh
kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah
perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman karena melihat kondisi anak
kecil yang bersama kami. Ia menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat
dimakannya. Ia menangis karena kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari
air susuku maupun air susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak
dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan.
Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya,
kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak
yang dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil
yang mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah
meninggal dan ia berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya
kedudukannya sangat mulia di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu,
wanita-wanita enggan untuk mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham
dengan mereka karena aku tidak peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya.
Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang dapat aku susui
kemudian. Di samping itu, aku malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita
itu. Lalu aku merasakan adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap anak
kecil yang tampan itu yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah
tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita yang
menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di
ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi
berkehendak agar bayi yang masih menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan
yatim dan dalam keadaan kelaparan agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak
yatim dan orang-orang yang lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah
mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat
untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak
mengetahui rahasia keinginannya yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak
yatirn yang masih menyusu ini. Ia tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah
menanamkan rasa cinta kepada anak kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT
menanamkan cinta kepada Musa pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak
wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya
dari susuan wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih,
maka Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan
mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri
tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah
kembali kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi Muhammad
saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di dadanya,
sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara kedua matanya. la
meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa kedua air susunya telah
kering, namun tiba-tiba air susunya memancar dengan keras sebagai bentuk kasih
sayang dan tanda kebesaran dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya.
Apakah itu merupakan hikmah yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa
cukup dengan sesuatu yang sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik
dirinya untuk zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang
pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah
kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia
menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan
mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah
mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri
setelah sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak.
Allah SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui
bahwa kabaikan ini telah datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi,
sehingga cintanya kepada anak itu semakin bertambah. Bahkan suaminya pun
menjadi tawanan cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada
suatu hari ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai
Halimah bahwa engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah
berkata: "Anak kecil itu tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika
ia telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak
tidur, maka Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di
bawah sinar bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan
langit. Setelah kedua matanya terpuaskan oleh pandangan ke arah langit, ia pun
mulai tidur.
Ketika
anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga ibunya
ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan perpisahan ini.
Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang ibu dan ia mulai
menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya bersama anaknya sehingga anak itu
benar-benar kuat dan dapat kembali menghirup udara segar gurun. Akhirnya,
Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada masa
lima tahun ini terjadi peristiwa penting yang terkenal dengan peristiwa
pembelahan dada. Kehendak Ilahi telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril
untuk menemui Muhammad bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi
serta menyuci hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan
mengeluarkan bagian dunia darinya.
Seperti
biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara susuannya dengan
menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan. Di tengah hari,
saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa
Muhammad telah terbunuh. Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai
baju yang putih lalu kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar
hal itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari
mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil
dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas
tanah di mana wajahnya tampak pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah
dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya.
Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad menjawab:
"Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan
dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku
menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun ternyata aku salah.
Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang memakai pakaian warna putih.
Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk ke arahku,
"Apakah ini anaknya?" Yang lain menjawab, "benar." Aku
merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka mengambilku dan menidurkan aku
serta membelah dadaku dan mereka mengambil sesuatu darinya hingga mereka
mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana
bayangan."
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad.
Para mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian
besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti
Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh firman-Nya:
"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. " (QS. Alam
Nasyrah: 1)
Sedangkan
tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti
Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin
terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu
kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana
terdapat hati yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati
para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena
arus kejahatan tersebut.
Dengan
demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau ketinggian,
bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia
diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan
malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga berlaku
kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT
membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali
dalam kebaikan."
Begitulah
sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa
pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan
dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan
di mana Rasulullah saw akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit.
Kemudian beliau akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha
yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan
tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa
pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima
puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam
Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada
mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada
di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan
bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu
antara kerongkongan dan perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan
hatiku dan membawa mangkok dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci
hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami
kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian
Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu
merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan
yang belum pernah dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia
sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil
itu di mana sebagian besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri.
Dari roman wajahnya tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang
dewasa.
Berlalulah
hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah
di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan
keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di
Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka
dan sikap mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad,
tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan
salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara
mereka."
Kemudian
Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup
beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas
kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya yang telah pergi,
Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah
dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh
dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan
yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya
di Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya
meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan yang
sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus
pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang
diam.
Selesailah
masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya
menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di
pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan
wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang yang bernama
Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang
ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang pembantu.
Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan
ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat berusia enam tahun.
Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia
mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya
kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah
saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?"
Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku.
Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah
temanku."
Allah
SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat
memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak
kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu
Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan penghormatan
padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun,
maka meninggallah salah satu benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu
kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu kini merenungi kakeknya
laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita
tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah
Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang
seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi
yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari
sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya
perasaan-perasaan yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat
hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan
Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu
Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa
memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya
yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan
memberi umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah
menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah
SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya
untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah
keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah
dari mendapatkan kasih sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia,
sehingga Nabi tersebut hanya mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah
SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan
terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan
terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna
ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah
SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya
petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT
melindunginya dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah
derajat keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah
kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah
meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya mengutamakan
Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta menghormatinya,
bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang biasa dibentangkannya di
hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad
bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki
kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang
mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman keras dan
para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad
bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka
ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang
berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak muda;
beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka
matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau
merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan
terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu
yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak
dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang
fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di
dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan dari
batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya
terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan
yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal
manusia menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau
mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan
keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan
perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh masalah-masalah yang
sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah dan sudah barang tentu
kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan
mati seperti ayahnya, ibunya, dan kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan
pertentangan ini, hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika
usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan
sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama
dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa
kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak
mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan
untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa
pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera menemukan
jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau jalan
keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan
petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang
dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan
kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia.
Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari
dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya selamat dari segala noda dan
tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak
kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa
kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia
selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang suci; ia mampu
mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih
sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia
duduk akan makan lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya
rnaka ia meninggalkan makanannya untuk burung itu. Pada saat orang-orang
memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut
suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak
kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam
keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad
saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau
bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi
yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau melakukan perjalanan
bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam saat beliau berusia tiga belas
tahun. Beliau menyaksikan keadaan umat-umat yang lain, maka keheranannya
semakin bertambah terhadap masa jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan
orang-orang tersesat, maka kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin
tersentuh dan pikirannya semakin dalam.
Pada
saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil
itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya. Seorang pendeta yang
bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di
Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang
menghiasai langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya
awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke
langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung
yang putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira
memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung
Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku
peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia
setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno.
Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk
menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah
tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka berkata
dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini
tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami,
padahal kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada
peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira
menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan
tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira
memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang
yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang
seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya
kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir
bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang
tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya karena ia masih kecil."
Buhaira berkata: "Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia
supaya hadir bersama kami dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki
dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami
untuk meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya
meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan
menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad,
sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku
ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka
berpisah.
Muhammad
bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai
anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu
aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui
sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan
engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu
yang lebih aku benci daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan
izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil itu menjawab:
"Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira
bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut
terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam ketika mendengar
bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan
Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk
bersama seorang Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa
sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa.
Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia
bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib menjawab:
"Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya
masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya
dan ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar,
kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib
bertanya tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu mulai
mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia
berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu
berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa
menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh
berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa
penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya akan
kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang biasa
diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji kedermawanan tuan rumah.
Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan memuji akhlak para pemuda
mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi
Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka
tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan
pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia
sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa
gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta
perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan
diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua
ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya.
Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali
menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian
ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya;
ia mengabdi kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari
demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang,
dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga
kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya
tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau
datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang mayoritas masyarakatnya,
namun tak seorang pun yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh
bahwa ia terkena sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada
tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk
membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan mereka
mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk
berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak
pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat
yang dititipkan oleh semua musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan
agar Ali dapat menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para
pemiliknya. Anda dapat melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta
mereka ketika dijaga oleh Muhammad saw.
Hari
demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan
kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah lautan keheningan yang
mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih,
maka ia harus menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan
rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai
Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan
selain-Nya.
Muhammad
dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para
pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya minuman
keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait syair yang mereka katakan
tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya di
suatu gua yang tenang di gunung yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan
waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang
keadaan alam; ia memikirkan keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya
serta kebesaran-Nya.
Pada
tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang
pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh
tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup harta. Ia
berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang mendekatinya dengan
alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari seseorang laki-laki yang
dapat membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu Khadijah mendengar berita
yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad
bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya.
Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia
dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana beliau kembali
dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya kepada
Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli
kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya.
Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya,
ia mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun
setuju.
Paman
Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat perayaan
perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari
kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun
ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah naungan yang akan
hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah
menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk
merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya
justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini.
Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan
materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada terlibat
dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada
saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah
merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk
menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT
membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari
Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan mendaki.
Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara tampak
lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang. Kemudian
beliau memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap
sadar dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan internal
yang dalam. Dalam suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang
cemerlang yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama
di atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada
sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita
tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia termulia dan
terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa
yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada
di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya? Bagaimana
keadaan batu-batu yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di
sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom batu yang
bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami
tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam dirinya. Yang
kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang kenabian dan beliau
tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada manusia; beliau tidak melakukan
praktek-praktek sufisme karena beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus
di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu
beliau meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau
mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula
lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang, tetapi
ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang bersangkutan
menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela manusia dan
kehormatannya.
Pada
suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan dengan
kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat tersebut memeluknya
erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil berkata:
"Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu
membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan
tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali memeluknya
dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia meninggal. Kemudian
malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali
menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat yang mulia kembali
memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah
saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian Jibril
membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah
peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara
tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang
pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci
di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin
Abdillah pun segera menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke
gunung dan kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia
bergetar denga keras dan beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah
beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau
telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah
yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena
beliau sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan
gemetar. Beliau berkata kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah
aku!" Kemudian isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan
mengusap keringat yang berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan
kepucatan wajah beliau yang mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah
bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira yang ia
tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang seharusnya tidak
dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan kegelisahan.
Khadijah
berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi
Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah
seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan
jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun
kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama beliau
ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah
seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia cukup
mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya telah buta karena masa
tua.
Khadijah
berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak saudaramu."
Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?"
Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna. Waraqah
berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu adalah
Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai seorang yang
mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi
yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah
keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika
kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya:
"Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar,
tidak ada seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali engkau akan
mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu niscaya
aku akan menolongmu."
Demikianlah,
akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT
telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama.
Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw
sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita
mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat
dikatakan mendahului mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang
pertama?
Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan Islam yang
dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang
berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni
berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berbeda dalam
bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi sebelumnya karena sebab yang
penting, yakni bahwa Islam ini merupakan ajaran yang universal dan berisi aspek
kemanusiaan yang abadi. Islam tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia
berlaku atas semua golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak
terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau
lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana
saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas
ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap
risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena
itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang bersifat temporal seringkali
mendukung risalah-risalah yang dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk
ajakan untuk menghidupkan akal manusia secara bebas, maka di sana tidak ada
alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat
dijadikan pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata
"iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT.
Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal
darah. Coba Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini
tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat yang
hakiki.
Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta
rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang
tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca.
Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang
berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut
kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan
dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam
pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya
perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka
berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara benar, tetapi
ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang
paling buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi,
ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam
wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah
bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah
yang memiliki dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam.
Ketika Anda menyclami kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan
simbol-simbol dari makna-makna yang lebih penting.
Dialog
internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam
untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang
diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau
mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan
mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka
tentang apa yang diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini
menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah
secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan
Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS.
adz-Dzariat: 56)
Lalu
bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari
kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para
tentaranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahamam yang
sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk menyembah-Ku "
berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti
mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga
orang-orang yang salat diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka
atau di rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran
orang-orang Barat dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta
memanfaatkan ilmu dan kecanggihan tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka
sendiri tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi
kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak.
Sedangkan pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai
berikut:
"Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS.
adz-Dzariat: 56)
Ibnu
Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui).
Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara praktek-praktek ibadah
dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang
menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama meyakini
bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT atau agar ia
mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang pertama sangat
mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia semuanya: satu tangan
berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain memegang pedang untuk
menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret manusia kepada kesesatan.
Kemudian
jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin
kehidupan dan mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali
'Imran: 18)
Setelah
kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah
secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu. Maka, adakah
penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada penghormatan ini? Ilmu
dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang benar bahwa Islam
yang bertanggung jawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode
eksperimental di mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat yang
kemudian melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode
eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti
bagian-bagian terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk
terhadap eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat
tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis murni yang
membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap
hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya
adalah panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang
bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim
dan peradaban Islam.
Seorang
guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang
dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun mempclajari
bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang
berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat
menisbatan keutamaan yang mereka peroleh dalam menciptakan sistem eksperimental
kepada diri mereka sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu.
Oleh karena itu, ia tidak malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab
dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah
pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan
sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar mereka mengetahui
bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya berasal dari Islam.
Dan jika dikatakan bahwa rahasia kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya
atas Timur kembali kepada pengambilannya terhadap sebab-sebab metode
eksperimental, yaitu metode Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan
kebingungannya serta kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan
metode tersebut dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode
eksperimen-tal—sebagaimana diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam dan
berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan
mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat pembahasan adalah
eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada
setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang misterius dan
melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi
setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada
hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu tentang tujuan
kehidupan ini. Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai
hukum-hukumnya saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya
sekadar alat dan sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya.
Sedangkan metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan
gerakan sistem tata surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha
Pencipta. Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan
bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm:
42)
Ilmu
justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah SWT
sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang
berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam
datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah
SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap pertama di dalam
Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan
menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain
Allah SWT.
Seruan
ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik
tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, penguasa,
pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para kakek dan nenek, berhala-berhala
yang terbuat dari batu dan kayu, maupun berbagai macam tuhan lain yang bohong.
Adalah salah jika seseorang membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain
Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu
yang ada di sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa yang
dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam merupakan per-gulatan besar bersama
kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu pergulatan yang berakhir pada
penyerahan diri; pergulatan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih
berat, sehingga kehi-dupan akan berserah diri. Dan mustahil pergulatan itu akan
terjadi kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan
dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan
kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam
dan kokoh. Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia harus memikul
senjata untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya
sendiri. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas
kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan buah terAkhirnya
adalah tauhid dalam kedalamannya yangjauh.
Jika
tauhid dipahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari penyembahan selain
Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut dari kematian, kekhawatiran
atas rezeki, manusia akan terbebas dari sikap bakhil dan ketakutan terhadap
hari-hari yang akan datang.
Muhammad
bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah
dan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan membebaskan manusia dari
menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang hakiki telah dimulai. Rasulullah
saw memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah yang
lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami,
tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan
menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan
memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan
unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari
bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah
saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh
Allah SWT:
"Dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril
mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya
sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan
bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok.
Semua ini terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau melalui jalanjalan menuju
sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang
Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu
kewajiban bagi orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan
di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang
dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah
SWT telah menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha
mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin,
sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit untuk mencapainya.
Cukup baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan
dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerin-tahkan manusia untuk berusaha
mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali
jika manusia berhasil melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad yang
kecil. Jihad besar adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad
melawan musuh di medan perang.
Dengan
terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa
takut, maka Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia
memerintahkannya untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di muka
bumi. Allah SWT berfirman tentang umat Islam:
"Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS.
Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah,
bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum keimanan
kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah akan pentingnyajihad
di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar tidak terwujud semata-mata
dengan memegang tongkat dan mencambukannya kepada punggung orang-orang Islam
yang tidak salat; ia juga tidak berupa usaha untuk menahan orang-orang Muslim
yang tidak berpuasa. Masalah itu lebih penting dan lebih besar dari sekadar
memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang bersifat
batiniah tidak diperhatikan.
Ayat
tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah di jalan
Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar berkata:
"Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut ini:"
"Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS.
al-Maidah: 105)
Dan
aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat
melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya, maka Allah SWT akan
menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran
Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa pelaksanaan
ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di jalan Allah SWT dengan
mengangkat senjata sebagai usaha untuk menghentikan orang-orang yang lalim.
Setelah itu, seorang Muslim dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan
tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku
memberikan petunjuk."
Demikianlah
pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman tersebut
dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah kchilangan keberanian, dan
rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih
mengutamakan keselamatan diri mcrcka daripada memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad
bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya terdapat
perintah Ilahi untuk rnemerangi orang-orang yang lalim dan mempertahankan
kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"Karena
itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat
berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur
atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang
besar. Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang
yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa:
'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.
" (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad
bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan
dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah
ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa
tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa
tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah
bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus
dengan surga dan bagaimana Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk
berperang, dan Dia memberitahu mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim
dan orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam.
Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana
Nabi Isa diutus dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran atau
buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa pedang.
Dan ketika Bani Israil berkata kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama
Tuhanmu dan berperanglah, dan kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka
kehendak Ilahi menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh
tahun sebagai akibat dari perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan
hina itu hancur yang mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan
mereka membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu
merupakan tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban
sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah
esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin Abdillah.
Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan kebebasan dan
yang terpenting adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang
universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk waraa kulit
tertentu atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan
kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang ingin mengikat ilmu dan
kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid
kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari kemudian dan
kebangkitan manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah
salah jika ada orang yang menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan aspek
akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah lembar-lembar
jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian dan tempat percobaan
bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia layak untuk menda-patkan
kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan kepada Adam. Atau apakah iajustru
layak untuk jadi bagian dari tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman
Allah SWT:
"Yang
bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah
saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan
kematian ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia
adalah rumah pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian
agar manusia menyadari siapa di antara mereka yang terbai amalnya. Tentu
pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru
dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan manusia agar menusia mengetahui,
danpengetahuan yang paling penting adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap
diri. Dan pada hari kiamat manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia
akan mengenal balasan yang akan diterimanya secara sempurna.
Dan
barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan
kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi
dengan kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak untuk hidup.
Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya.
Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak
didahului oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu
semuanya adalah tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan
menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru dalam Islam
adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna keadilan yang
sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa karakter dari Islam
adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun
agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya
lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada
setiap agama terdapat karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk yang
paling tepat sesuai dengan kebutuhan utama yang di situ agama itu diturunkan
dan sesuai dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di
tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir
kuno. Yahudisme diturunkan pada Bani Israil
yang suka membangkang dan karena itu, karakter utamanya adalah ketegasan
(as-Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh dengan fenomena berhalaisme ala
Mesir atau mereka terkena pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan
ketegasan inilah agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan
dan pembebasan.
Namun
Bani Israil yang memperbudak manusia dan
mempunyai hati yang keras pada saat yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk
masuk ke cengkraman orang-orang Romawi di mana orang-orang Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari
orang-orang Mesir. Oleh karena itu, orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk
melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan
perubahan keadaan. Cara tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan
bersenjata karena kekuatan orang-orang Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan
menguasai bumi secara keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh
adalah dengan cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan
pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh
kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas
imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun
Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak untuk
diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang
ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu,
agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah
karakter keadilan.
Ketegasan
hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan tertentu,
sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi
sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan tindakan-tindakan tertentu atau
untuk dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur
bagi orang-orang yang memilki perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi,
maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia
menjadi karakter Islam yang berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan
dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang
menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan barangkali kebesaran keadilan dan
pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian
itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila
Allah SWT dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan yang
disaksikan oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter
Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau
keadilan hukum atau keadilan dalam balasan, tctapi ia mencakup semuanya.
Sebelum semua ini dan sesudahnya, kcadilan dalam Islam merupakan suatu sistem
dalam kehidupan dan metode utama dalam Islam.
Ketika
Anda memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan
menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara agama-agama
yang dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan
agama, keadilan antara pria dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir
dan orang-orang yang kaya, keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan
dengan keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut
diri-Nya sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya,
Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi.
Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika
kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun darimu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh supaya aku
termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus:
72)
Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya
membangun Ka'bah:
"Ya
Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduh patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadat haji hami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS.
al-Baqarah: 127-128)
Nabi
Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di antara mereka
adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula Yakub.
(Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, maka janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS.
al-Baqarah: 132)
Ketika
kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan
bertanya kepada mereka:
"Apa
yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu
dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha
Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah
SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada
kaumnya:
"Hai
kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja,
jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara
itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat yang
menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku berserah
diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian
juga Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadanya agar
mematikannya sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam kelompok orang-orang
yang saleh. Allah SWT berfirman dan bercerita tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya
Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagaian kerajaan
dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta
langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku
dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh."
(QS.Yusuf: 101)
Sementara
itu dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin agar
mereka beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami
telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi,
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi
Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas
ayat-ayat tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana
Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir dikatakan sebagai orang Muslim
yang pertama?
Allah
SWT berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka,
bagaimana beliau menjadi orang Muslim yang pertama, padahal penamaan umat
beliau dengan sebutan al-Muslimin adalah penamaan yang sebenarnya sudah dahulu
dikenal di kalangan nabi-nabi yang terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud
dan penamaan agamanya dengan sebutan al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya
yang jauh, yaitu Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak
ada pertentangan dalam pendahuluan para nabi dengan sebutan al-Muslimin
daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang pertama.
Tentu kata al-Awwal (yang pertama) di sini tidak dipahami dari sisi waktu atau
masa kemunculan, tetapi yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah
akmalul muslimin (orang yang paling sempurna di antara orang-orang Muslim).
Suatu kali Aisyah pernah ditanya tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia
menjawab dengan kalimatnya yang singkat: "Akhlak beliau adalah
Al-Qur'an."
Kita
mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang mulia meskipun dalam
batasannya yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam
tingkatannya yang tinggi. Oleh karena itu, akhlak seperti apa yang dimiliki
oleh Rasulullah saw: apakah beliau memiliki akhlak yang sifatnya tengah-tengah,
atau apakah beliau mendahului dalam kebaikan, atau apakah beliau termasuk
ashabul yamin (orang-orang yang berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau
termasuk al-Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah
saw tidak hanya memiliki semua karakter tersebut dan atribut tersebut, bahkan
kedudukan beliau lebih dari itu semua. Beliau berada di puncak dari segala
puncak keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak untuk mendapatkan sebutan dari
Allah SWT:
"Dan
sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para
Mufasir berbeda pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti
yang agung). Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur'an.
Sebagian yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa
beliau tidak memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam
Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang tinggi dalam
dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau
adalah orang yang paling utama di antara manusia semuanya; beliau memiliki
keutamaan yang melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat dan kemuliaan
yang tidak dapat ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun beliau datang sebagai
Nabi yang terakhir namun justru karena posisi beliau sebagai Nabi yang
terakhir, maka beliau menjadi bata yang terakhir dalam pembangunan rumah kenabian
yang tinggi, sehingga bata yang terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan
manusia. Sedangkan ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan
Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS.
al-Anbiya': 107)
Beliau
bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya
menjadi rahmat bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi
zamannya saja, begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja,
tetapi beliau menjadi rahmat bagi alam semesta; beliau senantiasa menjadi
rahmat bagi alam semesta: dimulai dari diturunkannya wahyu kepadanya dengan
kalimat iqra hingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya
kepada orang-orang yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil, beliau
adalah rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak
menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang memulai
dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab: pertama,
pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau kalimat-kalimat Allah
SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang
diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia merupakan kalamullah yang abadi.
Dan kitab alam dibaca dengan ribuan cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah:
'Berjalanlah kamu di mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau
dibaca melalui usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap
penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau
dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau
siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang telah menjadikan
sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk
(mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut 1 Apakah di
samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka
tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika
di sana terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca kalimat-kalimat Allah SWT
dan kitab alam, maka di sana terdapat satu jalan untuk membaca kalamullah yang
abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata hati dan kecermelangan basirah,
sehingga Al-Qur'an menjadi bagian akhlak dari yang membaca sesuai dengan
kemampuannya.
Sebelum
turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik secara materi,
ruhani, undang-undang maupun dari dimensi kehidupan yang biasa melekat pada
manusia saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia
yang sempurna dan paling utama, alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri
kepada Allah SWT atau puncak dari keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw
diutus, maka manusia mengalami kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat
kesempurnaannya. Dengan Kitab yang mulia ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT
yang menyempurnakan agama bagi manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya atas
mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS.
al-Maidah: 3)
Namun
semua itu tidak terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus berjuang secara
serius dan sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia yang paling layak
untuk mendapatkan pujian pendduduk bumi dan penduduk langit. Dan Rasulullah saw
telah melakukan semua itu. Kita tidak mengenal seorang nabi yang perasaannya
dihina dan dicaci maki lebih dari apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita
tidak mengenal seorang nabi yang memikul berbagai penderitaan, dan memiliki
kesabaran yang mengagumkan di jalan Allah SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh
Nabi kita.
Kemudian,
seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta tidak akan
mengajak manusia menuju kebenaran kecuali jika manusia tersebut dari kalangan
orang-orang yang kafir dan membangkang. Beliau berdakwah bagi orang yang berhak
mendapatkan dakwah; beliau siap memikul tanggung jawab dakwah dengan berbagai
tantangan dan cobaannya; beliau menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah
itu, beliau datang kepada Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang
bercucuran dan dengan suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada
kemurkaan pada diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala
sesuatu akan menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah
turunnya wahyu kepada Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak
manusia untuk menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara rahasia yang
berlangsung selama tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula
Ummul Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid beriman kepadanya, lalu beriman juga
sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana beriman kepadanya anak pamannya, Ali bin Abi
Thalib yang saat itu masih kecil dan hidup di bawah asuhan Muhammad, dan juga
beriman kepadanya Zaid bin Tsabit, seorang pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga
ikut berdakwah, sehingga ia memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti
Usman bin Affan, Thalha bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman
seorang Masehi, yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah
kematiannya tanda kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya di sisi
Allah SWT. Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari juga masuk Islam, lalu disusul oleh
Zubair bin Awam dan Umar bin 'Anbasah serta Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai
mengepakkan sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian
berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada pembesar-pembesar
Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli. Barangkali mereka membayangkan
bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah yang dilakukannya di gua Hira—salah
seorang juru bicara tentang ketuhanan sebagaimana pernah dilakukan oleh Umayah
bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah
dakwah secara rahasia berhasil mengembangkan misinya dan dapat melindungi
akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang dibutuhkan tahapan
dakwah secara rahasia keimanan telah tertanam dalam hati kaum Muslim yang
pertama. Rasulullah saw telah mendidik mereka dan telah menanamkan kepada diri
mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah menciptakan mereka sebagai benih pertama
dari pasukan Islam. Pada suatu hari Jibril turun dengan membawa firman Allah
SWT:
"Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS.
asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah,
datanglah perintah Ilahi agar Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan.
Lalu berkumpullah di sekeliling Nabi sekelompok tentara yang besar dan
datanglah perintah Ilahi agar beliau menyampaikan dakwah secara terang-terangan
dan mengingatkan keluarga dekatnya. Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka
dakwah memasuki tahapan yang kedua. Dan tahapan dakwah yang baru ini berakibat
pada timbulnya penekanan terhadap para dai di mana mereka mengalami penindasan,
bahkan mereka didustakan oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang
Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berbahaya bagi mereka. Beliau bukan hanya
berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau mengajak rnanusia untuk mengikuti
agama baru, yaitu agama yang mencoba untuk menyingkirkan berhala-berhala dan
patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka yang mereka yakini; agama yang
mencoba menyingkirkan kedudukan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan
ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa tiada tuhan lain selain Allah SWT,
dan tiada hukum lain selain hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia.
Kedatangan agama tersebut menyebabkan penduduk kota Mekah membencinya dan
orang-orang yang memegang kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah
pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah gendrang
peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi antara para pembesar
Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang yang pertama kali menyerang
Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu Lahab.
Bukhari
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan beliau mulai
memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan ketika semua
berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian percaya jika aku
memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan datang menyerang kalian?" Mereka
menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu berbohong." Beliau
berkata: "Aku seorang yang diutus sebagai pemberi peringatan terhadap
kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang berat jika kalian menentang." Abu
Lahab berkata: "Sungguh celaka engkau, apakah karena ini engkau
mengumpulkan kami."
Dengan
penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum Muslim tidak
mampu mempertahankan diri mereka, maka mula-mula Allah SWT membantu mereka dan
menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek yang mengecam tindakan Abu
Lahab:
"Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah bermanfaat
kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahahan. Kelak dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar.
Yang di lehernya ada tali dari sabut. " (QS. Allahab: 1-5)
Dengan
ayat-ayat yang pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab memasuki kancah sejarah
dari pintunya yang paling pendek. Gambaran tentang kejahatan Abu Lahab tertulis
selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang yang menentang dakwah kebenaran karena
ia mengkhawatirkan kedudukannya dan kekayaannya, padahal harta yang
dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki arti sama sekali di sisi Allah
SWT karena ia sekarang berada dan dijebloskan di tengah-tengah neraka yang
menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa kayu bakar, sehingga menambah nyala
api itu sendiri. Dan di lehernya terdapat suatu belenggu sebagai simbol
keterikatannya dengan dunia binatang yang tidak berakal. Sebagian besar
orang-orang yang menentang dakwah adalah orang-orang yang berhubungan dengan
dunia binatang yang tidak sadar.
Allah
SWT berfirman:
"Atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka
itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu). " (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya
hari ini kita merenungkan reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik,
maka kita akan terheran-heran.
Allah
SWT berfirman:
"Dan
mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari
kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah seorang ahli sihir
yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu
saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan'."
(QS. Shad: 4-5)
Coba
perhatikan bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap bahwa pada
hakikatnya terdapat multi tuhan dan mereka jutru merasa heran ketika terdapat
hanya satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru merasa heran ketika
berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah
SWT berfirman:
"Dan
apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai
ejekan (dengan mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul?
Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita,
seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. " (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah
betapa nekatnya kaum itu di mana mereka mulai menghina dan mengejek Rasulullah
saw, padahal beliau telah datang di tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan
mereka dari api neraka, dan coba perhatikan bagaimana pandangan mereka terhadap
tuhan-tuhan mereka. Mereka membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat jika
mereka tidak bersabar dalam membela tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan
mengejek kebenaran dan kebodohan menghina ilmu. Mereka justru merasa heran
terhadap kepandaiannya yang dapat menyelamatkannya dari meninggalkan
tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu dan kayu, bahkan terkadang mereka membuat
tuhan dari adonan roti di mana mereka menyembahnya kemudian memakannya. Mereka
mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami dari rasa lapar atau
mereka mengatakan bahwa kami menyembah mereka agar mereka dapat mendekatkan
kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun
demikian, dakwah Nabi terus berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka
orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun; mereka menuduhnya juga
sebagai seorang gila, bahkan mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka
menuduh bahwa beliau berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum
yang lain; mereka mengatakan ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka
meminta kepada beliau untuk mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu;
mereka memberitahu bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya, sehingga terdapat
suatu mata air yang memancar dari bumi atau terwujud di depan mereka suatu
taman dari pohon kurma dan anggur yang memancar di tengah-tengahnya sungai,
atau langit akan runtuh sebagaimana yang beliau sampaikan kepada mereka sebagai
bentuk azab atau beliau datang dengan Allah SWT dan para malaikat dan mereka
semua menjamin kebenaran dakwah yang diserukannya, atau beliau memiliki rumah
dari emas atau beliau mampu mendaki langit dan mereka masih belum beriman
terhadap pendakian itu meskipun ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali
dengan selamat, kecuali jika ia menghadirkan kitab kepada mereka yang dapat
mereka baca dari langit.
Nabi
tidak peduli dengan usaha mereka untuk menyakiti hati beliau; Nabi tetap
memberitahu mereka dengan penuh kelembutan bahwa apa saja yang mereka minta itu
tidak sesuai dengan Islam. Sebab, Islam hanya menyeru akal dan berusaha
menciptakan kebebasan. Beliau menyampaikan kepada mereka bahwa beliau hanya
sekadar manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau datang kepada mereka untuk
mengingatkan mereka akan suatu hari di mana seorang tua tidak akan
menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di dalamnya harta dan anak-anak, dan
mereka tidak akan selamat di dalamnya dari siksaan. Orang-orang yang mempunyai
kedudukan atau para tokoh mereka adalah para tiran-tiran di muka bumi di mana
semua itu tidak akan bermanfaat bagi mereka pada hari kiamat. Siksaan yang
bakal mereka terima tidak dapat mereka hindari dan mereka pun tidak dapat
meringankannya.
Demikianlah
Islam—sebagaimana agama-agama sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya
orang-orang yang berakal dan orang-orang yang fakir serta orang-orang yang
menderita di muka bumi. Berimanlah sekelompok orang-orang fakir di mana mereka
menjadi kelompok sosial yang tertindas dan tersingkirkan di Mekah. Mereka
menjadi makanan empuk kelompok-kelompok yang lalim.
Islam
bukan hanya memberikan solusi ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau
masyarakat, tetapi Islam memberikan solusi Ilahi terhadap keberadaan manusia
secara umum; Islam meyakini bahwa manusia bukan hanya sekadar perut yang harus
dikenyangkan dan naluri seksual yang harus dipuaskan, manusia bukan hanya
dilihat dan dinilai dari sisi ini, namun Islam justru meletakkan manusia pada
tempatnya yang hakiki, tanpa membesar-besarkan atau mengecilkannya. Dalam
pandangan Islam, manusia terdiri dari bangunan fisik dan ruhani, terdiri dari
akal dan ambisi dan terdiri dari celupan dari Allah SWT dalam ruhnya.
Islam
tidak mementingkan fisik saja dan meninggalkan ruhani, begitu juga sebaliknya.
Terkadang fisik boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, tetapi
ruhani justru mengalami penderitaan yang luar biasa. Karena itu, pemuasan salah
satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan membawa manusia kepada
kesempurnaan atau kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa suatu solusi
yang dapat menyelamatkan manusia dari dalam dirinya sendiri dan Islam
membebankan tugas ini, yakni tugas perubahan ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an
menjadi cermin dalam kehidupan di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasul
saw, lalu beliau mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian Al-Qur'an berubah
menjadi orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan mengancam singgasana
kebencian yang menguasai Mekah, sehingga orang-orang musyrik justni
meningkatkan usaha pengejekan dan penghinaan terhadap Rasul saw. Oleh karena
itu, beliau semakin sedih lalu Allah SWT menghiburnya. Allah SWT memberitahu
beliau bahwa mereka tidak mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri
mereka sendiri. Mereka mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal
Nabi adalah salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah
SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwasannya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu,
(janganlah hamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang lalim itu mengingkari ayat-ayat Allah."
(QS. al-An'am: 33)
Kemudian
kaum musyrik meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya.
Peperangan dimulai: dari peperangan urat saraf sampai peperangan fisik. Mereka
mulai menyiksa para pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya. Pada saat itu,
musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan cara menindas kaum Muslim dan
menekan mereka dakwah Islam akan berhenti dan kaum Muslin akan enggan untuk
berdakwah. Mereka menganggap bahwa kaum Muslim justru memilih untuk
menyelamatkan diri mereka. Namun para tokoh-tokoh Quraisy dan para tokoh-tokoh
Mekah dikagetkan ketika melihat penekanan yang mereka lakukan justru semakin
membakar semangat kaum Muslim untuk berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa
yakin bahwa benih yang telah ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka
menjadikan mereka tetap bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka
bumi, yaitu suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan
(kesempurnaan) yang telah hilang darinya dan kema-nusiaan yang telah
disia-siakan serta kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang telah
hilang.
Kaum
Muslim yakin bahwa mereka bukan hanya membangun suatu negeri yang kecil di
Mekah, dan mereka bukan hanya memperbaiki masyarakat yang rusak, yaitu
masyarakat jazirah Arab, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka akan membangun
suatu manusia yang baru. Mereka akan menciptakan manusia seutuhnya; mereka akan
menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan dalam gambar yang baru yang
merupakan cermin dari gambar kebesaran sang Pencipta.
Sebelum
kedatangan Islam, orang-orang Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban
yang dahulu dan modern, orang-orang Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak
memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk ilmu, seni, atau peninggalan
apa pun yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan. Namun ketika Islam turun
kepada mereka, mereka menjadi cermin kejayaan manusia di mana mereka dapat
memberikan sumbangan nyata pada umat manusia. Bahkan orang-orang Barat banyak
berhutang kepada mereka dalam kemajuan yang mereka capai saat ini. Sebaliknya,
ketika mereka berpaling dari Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran
cerita-cerita dan kertas-kertas yang tidak berguna, maka saat itulah
orang-orang Barat dapat menguasai kaum Muslim karena mereka justru mendapatkan
ilmu dari Kaum Muslim itu sendiri. Mereka justru mencapai kemajuan ketika kaum
Muslim meninggalkan agama mereka. Jadi, ketika kaum Muslim memahami Islam
secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan ajaran-ajarannya niscaya mereka
akan mencapai puncak keilmuan.
Pada
awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum Muslim menyadari bahwa mereka menghadapi
peperangan yang tidak akan berhenti. Selama kehidupan ada, maka pertentangan
pun tetap ada. Oleh karena itu, ketika mereka mendapatkan penganiayaan dan
siksaan, maka keimanan mereka justru semakin meningkat, dan setiap penganiayaan
yang dilakukan oleh kaum Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk
mempertahankan kebenaran. Sebagai contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan
dan penganiayaan. Ia adalah salah seorang budak yang menjadi korban dari sistem
ekonomi yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem
perbudakan. Seorang yang beriman tersebut disiksa di Mekah di mana ia tidak
memperoleh kebebasannya yang hakiki kecuali setelah ia memeluk Islam. Mereka
mengeluarkannya ke gurun dan menyiksanya beserta ibunya. Bahkan siksaan semakin
meningkat atas ibunya agar ia kembali menjadi musyrik. Ketika ia tetap
mempertahankan keimanannya dan dengan tegas menolak ajakan untuk menentang
Islam, maka Abu Jahal menikamnya dengan belati yang ada di dua tangannya. Ia
pun meninggal. Dan Islam mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu
bernama Sumayah, ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak
kalangan orang-orang bodoh mengatakan tentang persetujuan Islam terhadap sistem
perbudakan, atau Islam mendiamkan sistem perbudakan. Mereka lupa bahwa Islam
dibangun berdasarkan suatu prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan
segala bentuknya; Islam ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan sesama
manusia menuju kepemilikan kepada Allah SWT.
Jika
Islam tidak turun dengan nas-nas yang terperinci yang mengharamkan sistem
perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum dan prinsip-prinsip utamanya
menghentikan—baik dalam tindakan maupun ucapan—sumber-sumber sistem ini. Allah
SWT sebagai pemilik syariat mengetahui bahwa sistem perbudakan adalah sistem
ekonomi yang sementara yang akan berubah dengan perubahan waktu, dan karena
Islam tidak turun pada waktu yang terdapat perbudakan saja, tetapi ia turun
secara umum dan menyeluruh untuk setiap zaman, maka Islam sengaja melewati
bentuk-bentuk yang temporal ini dari bentuk-bentuk eksploitasi menuju unsur
yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan bentuk-bentuk eksploitasi
tersebut, sehingga Islam mengharamkannya. Dengan cara demikian, Islam
mengharamkan sistem perbudakan secara bertahap, seperti proses pengharaman khamer.
Jadi, keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha menghapus dan mengharamkan
perbudakan.
Jika
dikatakan kepada kita bahwa Islam membolehkan para tentaranya untuk memperbudak
para tawanan perang, maka kita akan mengatakan bahwa Islam menerapkan sistem ini
sebagai bentuk pembalasan terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh
Islam menjadikan kaum Muslim sebagai budak-budak mereka ketika mereka
menawannya. Oleh karena itu, secara alami orang-orang Islam pun menawan mereka
sebagai budak-budak. Jika Islam tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi
Islam akan dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi orang-orang musyrik
untuk memperdaya Islam.
Demikianlah
bahwa dakwah Islam mengalami berbagai macam hambatan dan penindasan. Dan ketika
orang-orang yang tersiksa mengadu kepada Rasulullah saw atas penindasan yang
mereka terima, maka Rasulullah saw memberitahu mereka dengan pembicaraan yang
jelas bahwa para dai di jalan Allah SWT harus mengorbankan kesenangan mereka,
kedamaian mereka, dan darah mereka sebagai harga yang pantas untuk tersebarnya
dakwah Islam. Kebebasan bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan
menceritakan kepada kita bahwa ia dipenuhi dengan gumpalan darah yang harus
dibayar oleh masyarakat untuk memerangi musuh-musuhnya dari luar dan dari
dalam. Jika ini dialami setiap orang yang menuntut kebebasan pada zaman dan
tempat tertentu, maka bagaimana dengan orang-orang yang menuntut kebebasan
manusia secara keseluruhan.
Seorang
Muslim hendaklah sadar bahwa dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti akan
menerima pengusiran, penindasan, penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini
adalah harga yang pantas yang harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah
SWT; inilah harga kebebasan. Bahkan terkadang kaum yang batil pun membayamya
dengan senang hati, maka bagaimana mungkin orang-orang yang bersama kebenaran
ragu untuk melakukannya.
Pada
hakikatnya, manusia cinta kepada keabadian. Secara naluri manusia merasa takut
pada azab dan kematian. Dan barangkali yang membedakan orang-orang Islam yang
hakiki dengan yang lainnya adalah bahwa mereka terbebas dari rasa ketakutan dan
cinta keabadian. Ini adalah tolok ukur yang pasti untuk membedakan antara
seorang Muslim yang hakiki dan seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim
warisan atau hanya klaim semata.
Seorang
Muslim yang hakiki menyadari bahwa ajal di tangan Allah SWT, rezeki adajuga di
tangan-Nya, begitu juga keamanan semua ada di tangan-Nya. Dengan keimanan
seperti ini, ia memulai pergulatannya untuk menyebarkan dakwah. Ia siap untuk
menerima penyiksaan dan penderitaan di jalan Allah SWT; ia pun siap meneteskan
darahnya sebagai harga yang pantas yang diberikannya dalam rangka memperoleh
kebebasan. Ini semua dilakukanya dengan begitu sederhana dan tidak ada rasa
takut karena Islam membebaskannya dari rasa ketakutan. Dahulu para pembangkang
menggergaji orang-orang yang menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji saat
mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab
bin Irit pergi menemui Rasulullah saw dan meminta tolong kepada beliau dari
penyiksaan orang-orang Quraisy, sambil berkata: "Tidakkah engkau menolong
kami, wahai Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa kepada kami, ya
Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab: "Sungguh sebelum kalian
terdapat orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT lalu mereka dimasukkan
dalam suatu galian tanah lalu mereka digergaji di mana tubuh mereka dipisah
menjadi dua, namun mereka tetap mempertahankan agamanya. Demi Allah, sungguh
Allah SWT akan menolong masalah ini tetapi kalian terlalu tergesa-gesa."
Dengan
kalimat-kalimat yang penuh kesabaran dan keberanian ini, Rasulullah saw ingin
memahamkan kepada orang tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan iman adalah
membayar harga kebebasan. Jelas sekali bahwa Islam tidak memberikan keuntungan
bagi orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang pertama tidak bertanya dan
mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari agama ini?" Sebaliknya,
mereka bertanya: "Apa yang kita bayar untuk Islam?" Jawabannya
adalah: "Segala sesuatu dimulai dari suapan-suapan roti sampai darah yang
tertumpah." Jadi, kaum Muslim yang pertama telah membayar ongkos
kebebasan. Mereka merasakan kedamaian yang luar biasa untuk mempertahankan
agama Allah SWT; mereka mendapatkan kepercayaan yang tinggi tentang kemenangan
kebenaran yang datang kepada mereka; mereka justru memberitahu orang-orang
musyrik bahwa mereka akan dapat mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar. Dengan
dakwah yang mereka lakukan, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin di muka bumi.
Kaum musyrik justru memanfaatkan kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan
menertawakan mereka.
Ketika
Aswad Ibnu Matlab dan orang-orang yang bersamanya melihat sahabat-sahabat Nabi,
maka mereka mengejek dan mengatakan: "Telah datang kepada kalian
pemimpin-pemimpin bumi yang esok akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian
mereka bersiul dan bertepuk tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli dengan
ejekan tersebut. Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus menyertai dakwah
kaum Muslim. Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang bersejarah untuk
menyatukan pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw. Kaum musyrik
menuduhnya bahwa beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali yang lain
mereka menuduhnya bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali yang lain lagi
mereka menuduhnya bahwa beliau adalah penyair, bahkan pada kali yang lain
mereka menuduhnya bahwa beliau adalah seorang yang gila. Kemudian mereka semua
sepakat untuk menuduh bahwa beliau adalah seorang penyihir.
Walid
bin Mughirah yang terkenal sebagai orang yang terpandang di kalangan mereka
menuduh Rasulullah saw sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama
saudara dan antara seseorang dengan isterinya. Kemudian mereka membikin
kelompok-kelompok yang mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa Muhammad
adalah seorang penyihir. Meskipun demikian, dakwah Islam tetap berlangsung. Ia
tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan kalimat-kalimat yang diutarakan
Nabi justru mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan oleh manusia, yaitu
perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika mereka masih di alam atom di
punggung Adam:
"Bukankah
aku Tuhan kalian? Mereka menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah
jumlah kaum Muslim hingga kaum Quraisy merasakan ketakutan. Mereka mulai
melihat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan tidak selalu berhasil. Kemudian
mereka memilih untuk menggunakan cara baru, yaitu bagaimana seandainya mereka
menggunakan perdamaian dan perundingan. Orang-orang Quraisy mengutus 'Utbah bin
Rabi'ah, seorang lelaki yang terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaan
sebagai juru runding.
'Utbah
berkata kepada Rasul saw: "Wahai anak saudaraku, kami mengetahui
kedudukanmu di sisi kami dari sisi nasab. Engkau datang kepada kaummu dengan
suatu hal yang besar di mana engkau memisahkan kelompok-kelompok mereka. Maka
dengarkanlah aku karena aku ingin berbicara tentang beberapa hal. Barangkali
engkau akan menerima sebagiannya." Rasul saw berkata: "Silakan
berbicara wahai 'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau menginginkan
harta niscaya kami akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga engkau akan menjadi
orang yang paling kaya di antara kami, dan jika engkau menginginkan kehormatan,
maka kami akan memberi kehormatan itu bagimu dan jika engkau menginginkan
kekuasaan, maka kami akan menyerahkan kekuasaan padamu dan jika engkau terkena
penyakit yang engkau tidak mampu menolaknya dari dirimu, maka kami akan
mencarikan tabib bagimu dan kami akan mengeluarkan harta kami sehingga engkau
sembuh."
Demikianlah
'Utbah mengakhiri pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi. Lalu
Rasulullah saw berkata:
"Dengan
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan dari
Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang. Kitab yang dijelaskan
ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang
membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka
berpaling (darinya);, maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata:
'Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami
kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada
dinding, maka bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami bekerja (pula).' Katakanlah:
'Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku
bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan
yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. Dan kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orangyang
tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (hehidupan) akhirat.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka
mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah: 'Sesungguhnya patutkah
kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam. Dan
dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang
bertanya. Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu
keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya
menjawab: 'Kami datang dengan suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh langit
dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami
hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perhasa
lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan kaum
Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah
saw telah menjawab tawaran 'Utbah di mana beliau memilih untuk menghadapi
tawaran dan iming-iming tersebut dengan membaca sebagian dari surah Fhusilat
yang merupakan salah satu surah Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT
melalui malaikat Jibril. 'Utbah bangkit dari tempatnya ketika Rasulullah saw
sampai pada firman-Nya:
"Jika
mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir,
seperti petir yang menimpa kaum "Ad dan kaum Tsamud. " (QS. Fushilat:
13)
'Utbah
berdiri dalam keadaan takut dan segera menuju kaum Quraisy. Bayang-bayang azab
dunia terngiang di telinganya. Dan ketika ia sampai ke orang Quraisy, ia
mengusulkan agar orang-orang Quraisy membiarkan apa saja yang dilakukan
Muhammad. Gagallah perundingan dengan seorang Muslim yang pertama, yaitu
Rasulullah saw. Gagalnya perundingan tersebut sebagai bentuk pemberitahuan
tentang kembalinya tindak kekerasan dan penyiksaan terhadap sahabat-sahabat
Rasul saw. Kemudian kaum musyrik semakin meningkatkan penindasan terhadap kaum
Muslim. Rasulullah saw sangat menderita melihat hal yang dirasakan para
sahabatnya. Ketika kaum Muslim membayar harga yang paling mahal sebagai
konsekuensi dari akidah yang mereka anut dan mereka dengan sabar memikul
penderitaan di jalan Allah SWT, maka Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk
berhijrah. Beliau memberikan izin untuk berhijrah bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian
Dimulailah gelombang hijrah. Itu terjadi pada lima tahun dari turunnya wahyu
setelah dua tahun diumumkannya dakwah. Maka berhijrahlah ke Habasyah enam belas
orang Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan mereka menuju ke laut. Mereka
berlayar meskipun orang-orang yang tinggal di gurun sebenarnya tidak ingin
berlayar karena mereka takut dari laut dan mereka yakin bahwa manusia yang
berlayar di laut akan menjadi ulat di atas kayu-kayu yang berenang.
Selanjutnya,
gelombang hijrah yang kedua pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan puluh
tiga orang laki-laki dan sembilan belas perempuan. Kemudian orang-orang Quraisy
berusaha untuk mengirim beberapa orang dan tetap berusaha menyiksa dan
menyakiti orang-orang yang berhijrah. Mereka mengutus ke Najasyi, Raja
Habasyah, orang-orang yang dapat mempengaruhinya untuk menentang orang-orang
yang berhijrah. Mereka menuduh kaum Muslim meninggalkan agama nenek moyang
mereka di Mekah dan mereka juga tidak menganut agama Najasyi, yaitu agama
Kristen. Kemudian orang-orang Quraisy tidak lupa mengirim hadiah kepada Najasyi
sebagai bentuk suapan kepadanya. Tampaknya Najasyi seorang yang berakal lalu ia
mengutus seseorang kepada kaum muhajirin dan bertanya kepada mereka tentang
agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum muhajirin menceritakan kepadanya
tentang Islam.
Najasyi
bertanya tentang Isa lalu mereka menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT dan
rasul-Nya dan ruh-Nya serta kalimat-Nya yang diletakkan kepada Maryam, wanita
yang perawan yang suci." Kemudian Najasyi mengambil satu kayu kecil dari
bumi dan mengatakan: "Penjelasan tentang Isa yang kalian katakan tidak
lebih dari kayu kecil ini. Pergilah kalian dan kalian akan aman." Najasyi
mengembalikan hadiah kaum Quraisy dan mengatakan: "Allah tidak mengambil
suap dariku sehingga aku tidak mungkin mengambilnya dari kalian."
Demikianlah
kaum muhajirin tinggal di negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang
dipimpin oleh seorang laki-laki yang diberi kematangan berpikir di mana ia
cenderung mengimani karakter al-Masih sebagai seorang manusia. Dan salah satu
keajaiban kekuasaan Ilahi adalah bahwa masyarakat Islam yang berhijrah tersebut
tidak mengalami kelemahan dalam akidahnya, namun mereka justru merasakan
kekuatan.
Allah
SWT memperkuat dakwah Islam dengan masuknya dua lelaki besar dalam Islam, yaitu
Hamzah, paman Nabi dan Umar bin Khatab. Kedua orang itu mempunyai kepribadian
yang tangguh di Mekah di mana masing-masing dari mereka terkenal di
tengah-tengah kaumnya. Allah SWT berkehendak untuk memberi Islam dua orang
lelaki yang tangguh di Mekah dan Allah SWT telah meletakkan rahmat yang
terpancar dalam hati mereka. Hamzah masuk Islam karena dorongan emosi,
fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang yang tidak memberikan pembelaan
kepada Muhammad saw.
Salah
seorang perempuan berkata kepada Hamzah: "Seandainya engkau melihat apa
yang diperoleh oleh anak dari saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam bin Hisyam
(Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal telah mencelanya dan menyakitinya, sedangkan
Muhammad hanya terdiam dan tidak mengatakan apa-apa." Mendengar pengaduan
itu, darah mendidih berkobar dalam urat-urat Hamzah. Dengan kemarahan yang
sangat, Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia melihatnya sedang duduk-duduk di
tengah-tengah kaumnya. Hamzah mengangkat tangannya lalu memukulkannya ke kepala
Abu Jahal sambil berteriak: "Apakah engkau akan mengejek Muhammad, padahal
aku berada di atas agamanya."
Demikianlah
permulaan keislaman Hamzah. Hamzah adalah seorang yang mulia di mana
perasaannya berkobar ketika ia melihat anak saudaranya disiksa dan dianiaya dan
dia tidak mendapati seorang pun yang membelanya. Beginilah sebab-sebab pertama
dari keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam dan yang paling menentukan
adalah rahmat Allah SWT yang telah dianugerahkan kepadanya, meskipun Hamzah
tidak mengetahuinya, yaitu rahmat yang mendorongnya untuk tidak membiarkan
seseorang pun menyakiti lelaki yang berdakwah di jalan Allah SWT hanya karena
ia seorang yang lemah dan tidak mempunyai penolong. Jadi, Hamzah adalah
penolongnya.
Sedangkan
Umar bin Khatab terkenal dengan ketangguhan sikap dan kekerasan perilaku.
Seringkali kaum Muslim mendapat siksaan darinya ketika ia masih menganut
jahiliah. Dan salah seorang yang mendapatkan siksaan ciarinya adalah Amir bin
Rabi'ah dan isterinya. Amir beserta istcrinya menetapkan untuk berhijrah ke
Habasyah. Umar bin Khatab menemuinya lalu ia mendapati isteri Amir dan tidak
mencmukan suaminya. Umar melihat wanita itu sedang bersiap-siap untuk berhijrah
lalu Umar berkata (saat itu sumber rahmat telah memancar pada dirinya):
"Apakah engkau akan pergi wahai Ummu Abdillah?" Dengan nada jengkel,
wanita itu berkata: "Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah
Allah SWT. Engkau telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk berhijrah.
Kami akan pergi sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada
kami." Umar berkata: "Mudah-mudahan Allah SWTmenemanimu."
Wanita
itu melihat tanda-tanda kelembutan dan kesedihan pada wajah Umar. Dan ketika
suaminya kembali, ia menceritakan kepadanya bahwa ia sangat berharap kepada
keislaman Umar. Lalu suaminya menjawab: "Ia tidak mungkin masuk Islam
sampai keledai Umar masuk Islam." Ia mengatkan demikian karena ia melihat
betapa bengisnya dan kejamnya Umar. Namun perasaan lembut wanita itu lebih kuat
daripada pandangan pikiran lelaki itu dan keputusannya yang terlalu cepat
kepada Umar.
Belum
lama mereka berhijrah sehingga Umar masuk Islam. Orang-orang muhajirin
mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam dirinya. Dan barangkali Umar merasa
kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh Rasul saw. Dengan menghunuskan
pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang
yang memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu mereka bertanya kepadanya,
hendak kemana ia akan pergi? Umar menjawab: "Aku hendak ke Muhammad aku
akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab merasa tenteram." Dengan nada
mengejek, seseorang berkata: "Tidakkah engkau memulai dari keluargamu
sebelum engkau membunuh Muhammad." Dengan nada jengkel, Umar berkata: "Apa
yang terjadi pada keluargaku?" Lelaki itu menjawab: "Saudara
perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam, sedangkan engkau tidak
mengetahuinya." Umar segera mencari saudara perempuannya dan suaminya di
mana saat itu keduanya sedang membaca Al-Qur'an.
Ketika
melihat Umar, mereka menyembunyikan Al-Qur'an. Umar bertanya: "Sepertinya
aku mendengar suara bisikan dari luar." Tetapi saudara perempuannya
mengatakan: "Tidak." Kemudian suaminya ikut campur dan Umar pun
tampak marah kepadanya. Wanita itu bangkit untuk membela suaminya lalu Umar
memukulnya sehingga darah segar mengucur darinya. Darah itu justru
membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar. Akhirnya, Umar mengambil air wudhu
agar mereka mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an. Umar pun membacanya. Belum
lama Umar membacanya sehingga ia pergi menemui Rasul saw.
Tanpa
ragu, Umar memilih untuk masuk Islam. Dan pedang yang dibawanya itu menjadi
pedang yang paling kuat yang dengannya ia mempertahankan agama Muhammad saw.
Kemudian ia mengetuk pintu untuk menemui Rasul saw di mana saat itu beliau
bersama sahabatnya. Dari celah-celah pintu, sahabat Nabi melihat Umar bin
Khatab sedang menghunuskan pedang. Kemudian sahabat itu kembali kepada Nabi
dengan membawa berita yang sangat mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar datang
dengan maksud jahat.
Rasulullah
saw bangkit dan memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Umar. Rasulullah
saw membukakan pintu Kemudian ia menyambut Umar bin Khatab dan bertanya
kepadanya apa yang diinginkannya. Umar menjawab bahwa ia datang untuk
mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya.
Orang-orang
Quraisy mulai merasa bahaya akan mereka temui setelah keislaman Umar dan
Hamzah. Para tokoh-tokoh Mekah dan orang-orang yang dihormati telah masuk
Islam. Sebelum Umar masuk Islam, kaum Muslim bertawaf di Ka'bah secara rahasia
dan dengan malu-malu, namun ketika Umar masuk Islam ia menampakkan keislamannya
dan ia menantang orang yang mencegahnya untuk bertawaf, bahkan banyak
orang-orang memberikan jalan padanya saat tawaf. Mekah mengetahui bahwa ia
menghadapi suatu dakwah yang akan dapat mengubah jazirah Arab.
Rasa
ketakutan mulai menghantui para pemuka Quraisy dan mereka menetapkan metode
baru untuk menghadapi kaum Muslim. Mereka yang sebelumnya menggunakan metode
penghinaan dan pengejekan kini mulai mencoba untuk memblokade kaum Muslim
secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum musyrik mengadakan perkumpulan dan
pertemuan untuk memboikot kaum Muslim. Mereka mengadakan pertemuan itu di
Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya. Orang-orang musyrik menghormati Ka'bah
meskipun mereka memenuhinya dengan berbagai macam patung yang mereka sembah
dalam rangka mendekatkan mereka kepada Allah. Pasal kesepakatan itu menetapkan,
hendaklah penduduk Mekah tidak menjual barang apapun kepada kaum Muslim dan
hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum Muslim. Dengan ketetapan yang kejam
tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum Muslim dan membunuh perekonomian
mereka. Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman kepadanya terpaksa
berlindung di dusun Bani Hasyim. Mereka dilindungi oleh keturunan Bani
Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun orang-orang beriman kecuali
musuh Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia bersama orang-orang Quraisy menentang
kaummnya.
Kemudian
Dimulailah blokade ekonomi terhadap kaum Muslim di mana tidak ada makanan dan
minuman yang datang kepada mereka, sehingga penderitaan yang sulit kini dialami
oleh sahabat-sahabat Nabi. Ketika kafllah perdagangan datang ke Mekah dan salah
seorang dari sahabat Nabi menemui mereka di pasar untuk membeli makanan untuk
keluarganya, maka Abu Lahab berdiri dan berkata kepada para penjual, wahai para
pedagang, mahalkanlah dagangan kalian terhadap sahabat-sahabat Muhammad,
sehingga mereka tidak mampu membelinya dan aku menjamin kerugian yang kalian alami,
bahkan aku akan membeli apa saja yang ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar
hal tersebut, para pedagang pun menjual barang dagangannya dengan harga yang
tidak wajar, sehingga seorang Muslim kembali ke rumah keluarganya tanpa membawa
sedikit pun makanan. Kemudian padagang itu pergi ke Abu Lahab dan memin-ta
kepadanya agar membeli barang yang ingin dibeli orang Muslim. Demikianlah
peperangan tersebut terus terjadi sehingga kaum Muslim merasakan penderitaan
yang sangat luar biasa di mana mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan
pakaian yang layak. Peperangan ekonomi ini terjadi selama tiga tahun penuh.
Saking menderitanya para sahabat sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas pernah
keluar pada suatu hari untuk memenuhi hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing
di bawah air kencing. Tiba-tiba ia menemukan sepotong kulit unta yang kering
lalu ia mengambilnya dan membasuhnya. Kemudian ia membakarnya dan mencucinya
dengan air sampai bersih lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama
tiga tahun tersebut wahyu tetap turun kepada Rasul saw dan seakan-akan ia
melupakan bencana yang keras ini. Allah SWT ingin mendidik para pengikut
agama-Nya agar mereka mampu memikul segala penderitaan.
Meskipun
kaum Muslim mendapatkan berbagai ujian selama tiga tahun tersebut, tetapi
aktifitas dakwah Islam tidak pernah padam dan tidak pernah surut. Kaum Muslim
bertemu orang-orang selain mereka pada musim haji lalu mereka berbicara kepada
orang-orang tersebut tentang keberadaan Allah SWT dan mereka meminta kepada para
pengujung itu untuk mencari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya. Keteguhan kaum
Muslim dan keberanian mereka telah memikat banyak orang sehingga mereka masuk
Islam. Bahkan orang-orang musyrik mulai bertanya kepada diri mereka dan
mempertanyakan kebenaran apa tindakan mereka. Lalu kecemburuan kepada kebenaran
mulai menyerang hati.
Kemudian
Selesailah peperangan ekonomi terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik melihat
itu tidak berdampak terlalu besar bagi kaum Muslim. Meskipun kaum Muslim
menerima penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka tetap bertambah dan
keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada Allah SWT pun semakin
meningkat. Lalu datanglah tahun kesedihan kepada Nabi. Belum lama Rasulullah
saw merasakan dan menghirup udara segar setelah tiga tahun masa blokade dan
beliau ingin memulai kehidupan barunya dan dakwahnya, sehingga beliau
dikagetkan dengan kematian isteri tercintanya Ummul Mukminin Khadijah dan
kematian pamannya yang tercita Abu Thalib.
Abu
Thalib adalah seorang yang besar yang memiliki kewibawaan di tengah-tengah kaum
Quraisy, sehingga usaha kaum Quraisy untuk menyakiti Nabi menjadi terbatas
ketika mereka berhadapan dengan "tembok perlindungan" Abu Thalib
kepada kemenakannya. Sedangkan Khadijah merupakan tempat perlindungan dan
kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati yang sangat penyayang yang banyak menghibur
Nabi saat beliau berdakwah. Khadiijah adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik
isteri. Begitu juga, bagi Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman,
sebaik-baik suami, sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah
saw sangat sedih ketika kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam
kehidupannya itu, bahkan para sejarawan menamakan tahun tersebut dengan tahun
kesedihan. Sebaliknya, orangorang musyrik justru bergembira dengan kesedihan
Rasul saw itu. Mereka menganggap bahwa Rasul saw tidak lagi memiliki seorang
tua yang mampu melindunginya dan tidak lagi memiliki seorang isteri yang dapat
meringankan beban penderitaannya.
Setelah
kematian dua orang tcrscbut, penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy kepada
Nabi semakin meningkat dan orang-orang musyrik memilih waktu yang tepat untuk
menyembelih binatang di Mekah lalu mereka membawa usus-usus atau jeroan dari
unta dan mereka melemparkannya dan meletakkannya di atas punggung Nabi saat
beliau sujud. Kemudian berita memilukan itu sampai kepada putri tercintanya,
Fatimah az-Zahrah, sehingga ia segera datang dan berusaha membela ayahnya dan
membersihkan kotoran yang ada di pundak ayahnya itu. Demikianlah kemuliaan Siti
Fatimah az-Zahra yang senantiasa melindungi ayahnya.
Betapa
sedihnya Nabi saw ketika beliau melihat bahwa keadaan beliau sampai pada batas
di mana anak perempuan beliau pun turut membelanya. Namun beliau tetap bersabar
dalam berdakwah di jalan Allah SWT. Pada suatu hari beliau berpikir untuk pergi
ke Tha'if di mana di sana dihuni oleh kaum Tha'if. Barangkali beliau berkata
dalam dirinya: jika di sini aku mendapati hati-hati yang telah membeku dan
telah berhubungan mesra dengan kebatilan ialu mengapa aku tidak pergi ke
Tsaqif. Barangkali Allah SWT akan membukakan pintu dakwah di sana. Mungkin di
sana masih terdapat hati yang akan terbuka guna menerima kebenaran.
Saat
itu kaum musyrik memberlakukan blokade umum atas dakwah yang dipimpin oleh
Rasulullah saw sehingga tekanan kepada beliau semakin meningkat sampai pada
batas di mana pergerakan dakwah tidak dapat bergerak satu langkah pun. Keadaan
demikian ini sangat menggelisahkan Nabi. Beliau ingin untuk melepaskan belenggu
yang mengikatnya. Lalu beliau memutuskan untuk pergi ke Tha'if. Jarak antara
Mekah dan Tha'if lebih dari tujuh puluh kilo meter. Nabi menempuh perjalanan
itu dengan jalan kaki, pergi dan pulang.
Kita
tidak mengetahui pemikiran-pemikiran apa yang terlintas dalam benak Rasulullah
saw saat beliau pergi dan menemui kabilah yang kafir kepada Allah SWT ini. Yang
kita ketahui adalah bahwa beliau pergi ke sana dengan membawa rahmat dunia dan
akhirat. Tetapi mereka justru membalas sikap baik Rasulullah saw itu dengan
tindakan jahiliyah. Mereka bersikap buruk kepada beliau dan mendustakannya.
Rasulullah saw tinggal di sana selama sepuluh hari. Beliau mondar-mandir dari
satu rumah ke rumah yang lain dan dari pasar ke pasar yang lain dan dari satu
jalan ke jalan yang lain. Tak seorang pun yang mendengar kedatangan beliau di
sana; tak seorang pun yang mau mendengar dakwah beliau dan tak seorang pun yang
mau beriman kepada ajakannya. Bahkan masyarakat di situ semakin menjadijadi
dalam menyerang Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada
hari yang terakhir yang mana beliau telah menetapkan untuk kembali ke Mekah.
Rasulullah saw berdiri di Tha'if dan mengharap kepada masyarakat di sana agar
merahasiakan kunjungannya kepada mereka sehingga pencelaan yang beliau terima
di Mekah terhadap agama yang dibawanya tidak semakin menjadi-jadi. Tetapi
penduduk Tha'if menolak permohonan yang terakhir ini. Mereka tidak cukup
melakukan hal itu tetapi mereka melakukan perbuatan terburuk yang dilakukan
manusia terhadap sesama manusia. Mereka menahan keluarga orang-orang yang bodoh
dan orang-orang biasa untuk membentuk dua barisan dan memerintahkan mereka
untuk melempari Rasulullah saw dengan batu dan mengejeknya. Nabi keluar dari
Tha'if dan beliau mendapatkan lemparan bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan
beliau merasakan kepedihan saat kakinya terkena lemparan batu itu sehingga
darah suci mengucur dari kaki beliau.
Kemudian
Rasulullah saw diusir sehingga beliau sampai di suatu kebun yang dimiliki oleh
dua orang dari orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau duduk di bawah naungan
pohon anggur. Dua orang pemilik kebun itu merasa kasihan melihat keadaan orang
yang terusir dan terluka itu. Mereka membawa kepadanya setangkai anggur dengan
seorang pembantu. Pembantu mereka adalah seorang Nasrani yang bernama Adas. Si
pembantu meletakkan setangkai anggur itu depan Rasul saw lalu beliau
mengulurkan tangannya kepadanya sambil berkata: "Bismillahirahmanirrahim
(Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Adas berkata kepada
Nabi, perkataan ini tidak begitu dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi
berkata: "Anda dari daerah mana?" Adas menjawab: "Aku adalah
seorang Nasrani dari Nainawa." Nabi berkata: "Apakah engkau dari desa
lelaki saleh Yunus bin Mata?" "Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?,
sambung lelaki itu. Nabi berkata: "Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang
Nabi aku pun seorang Nabi."
Mendengar
jawaban Rasul saw, Adas segera merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki Rasul
saw lalu ia menciuminya sambil menangis. Akhirnya, pembantu Nasrani itu masuk
Islam sehingga ia menambah barisan kaum Muslim. Ia adalah seorang yang menjadi
Muslim ketika Rasulullah saw berhijrah ke Tha'if. Inilah harga yang harus
dibayar Rasulullah saw sclania dua minggu saat beliau berada di Tha'if, dan
kemudian bcliau terkena cobaan dengan mengucurnya darah dari kaki beliau akibat
lemparan batu penghuni Tha'if.
Kemudian
Rasulullah saw kcmbali ke Mekah beliau kembali dalam keadaan ditolak oleh
pcnduduk Tha'if dan kini beliau kembali menerima penolakan itu di Mekah.
Meskipun demikian, beliau merasakan kesedihan yang mendalam melihat sikap
kaumnya. Namun ketika kebencian semakin deras mengalir kepada beliau, hati
beliau justru semakin bersemangat dan semakin dipenuhi dengan rahmat kemudian
datanglah kepada Nabi masa di mana tampak di dalamnya Islam asing, dan tampak
di dalamnya Nabi seorang diri, tanpa penolong.
Pada
saat demikian ini ketika manusia mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu langit
turut campur dan terjadilah peristiwa besar dan mukjizat terbesar pada diri
Nabi, yaitu Isra' dan Mi'raj. Ia adalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan
dakwah Islam; ia tidak datang untuk memperkuat dakwah ini atau menetapkannya
tetapi ia datang semata-mata untuk memperkuat keteguhan Nabi dan sebagai
penghormatan kepadanya. Seakan-akan Allah SWT ingin berkata kepada Nabi, jika
saja penduduk bumi tidak memujimu, maka penduduk langit mengenal kedudukanmu
dan memberikan pujian yang layak kepadamu dan jika manusia menolak dakwahmu dan
menolak keberadaanmu, maka sesungguhnya Allah SWT memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk
melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj dalam
sejarah para nabi sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada tandingannya
dibandingkan dengan kisah nabi yang lain. Kita mengetahui bahwa di deretan para
nabi ada nabi-nabi yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai para kekasih-Nya dan
sebagai para pendamping-Nya, seperti Nabi Ibrahim. Kita juga melihat bahwa di
antara para nabi ada seseorang yang diajak bicara oleh Allah SWT tanpa
perantara, seperti Nabi Musa. Kita juga melihat di antara para nabi ada yang
didukung oleh Allah SWT dengan ruhul kudus, seperti Nabi Isa. Tetapi untuk
pertama kalinya kita berada di hadapan seorang nabi yang diajak dan dipanggil
oleh Allah SWT untuk menuju ke sisi-Nya.
Beliau
naik bersama Jibril dengan jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril berdiri di
suatu tempat dan Nabi maju sendirian. Itu adalah tingkat dari tingkat
kehormatan di mana pena terasa keluh untuk mengungkapkannya dan sejarawan tidak
dapat menulis apa yang terjadi saat itu. Kita telah melihat dalam kisah para
nabi seorang nabi yang meminta kepada Tuhannya agar memperlihatkan kepadanya
bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang mati. Allah SWT bertanya kepadanya,
apakah ia belum beriman akan hal itu? Ibrahim menjawab: Bahwa ia beriman tetapi
ia ingin menenangkan hatinya.
Kita
juga melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT
memancar dalam kalbunya sehingga ia meminta:
"Ya
Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada
Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun
Allah SWT menjawab kepada Musa tentang kemustahilan melihat Allah SWT atas
manusia. Nabi Musa memahami bahwa makhluk manapun tidak akan mampu menahan
beban penampakan dari Zat sang Pencipta.
Adapun
Muhammad bin Abdillah ia tidak bertanya kepada Tuhannya dan meminta kepadanya
untuk diberi mukjizat atau kejadian yang luar biasa; ia tidak meminta kepada
Tuhannya agar dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha mencari ketenangan
dalam hatinya. Cintanya kepada Allah SWT termasuk bentuk cinta yang sulit untuk
dipahami atau diselami kedalamannya oleh para tokoh pecinta dan cintanya
tersebut bukan termasuk bentuk yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta
beliau melampaui tingkat permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan
atau ridha. Segala sesuatu yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah
saw berkata saat beliau dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka akibat
perbuatan kaum Tha'if: "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak
peduli dengan mereka."
Lihatlah
tingkat cinta yang tinggi itu: bagaimana tingkat tersebut menyebabkan beliau
merasa rendah diri sehingga beliau berkata, "jika Engkau tidak murka
kepadaku ..." Seakan-akan beliau tidak menginginkan selain ridha Allah SWT
dan yang beliau khawatirkan adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh
adab yang diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang paling
layak dan paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau sebagai orang
Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah
mukjizat Isra' dan Mi'raj. Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati
kepribadian Rasulullah saw; mukjizat yang membangkitkan peranan akal dan hati
secara bersama. Para nabi tanpa terkecuali didukung oleh bcrbagai macam
mukjizat yang terjadi di muka bumi bahkan para nabi yang diangkat ke langit
seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka pengangkatan mereka sebagai bentuk
menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan atau penyaliban. Mukjizat mereka
saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk akhir dari aktifitas mereka di
muka bumi.
Ini
adalah kali pertama ketika kita mendapati suatu mukjizat yang tempat utamanya
di langit; suatu mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat ke
langit dengan jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih hidup. Di sana Allah SWT
memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian beliau kembali ke
bumi di mana beliau akan mendapatkan berbagai macam tantangan dan cobaan yang
biasa diterima oleh penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah manusia yang
pertama melewati planet bumi dan beliau menembus bulan dan matahari dan bintang-bintang.
Kita menyaksikan di zaman kita manusia pertama atau astronot pertama yang mampu
menembus ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru dapat ditembus oleh manusia
setelah empat belas abad dari turunnya risalah Muhammad saw, namun sejak empat
belas abad yang lalu Nabi Islam telah dapat menembus ruang angkasa itu, bahkan
beliau mencapai Sidratul Muntaha dan puncak al-Muntaha.
Beliau
sampai pada batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan beliau menembus
alam gaib. Bukankah surga bagian dari alam gaib? Beliau sampai di surga. Allah
SWT menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai pada batas terputusnya
ilmu manusia dan tiada yang mengetahui hakikat ilmu tersebut kecuali Allah SWT.
Mukjizat Isra' bukanlah mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu
malam. Peristiwa Isra' dan Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam
Al-Qur'an al-Karim. Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Isra': 1)
Sedangkan
berkaitan dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada
waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat
tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh
sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya. Sesungguhnya dia telah melihat
sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS.
an-Najm: 13-18)
Pada
malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling di sekitar Ka'bah dan berdoa
kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan pucat wajahnya dan kedua air matanya
mengucur; beliau tidak bertawaf bersama seseorang pun; beliau tawaf sendirian
lalu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik memandang beliau dengan
pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan berdoa. Allah SWT melihat
hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul
Amin yaitu malaikat Jibril agar menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju
Masjidil Aqsha Kemudian membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat
tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Di
suatu rumah yang mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada di Mekah, Nabi
saw sedang tidur dan datanglah waktu pertengahan malam. Jibril turun dan memasuki
rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di sisi kepala sang Nabi dan ia melihat
kepadanya dengan pandangan cinta. Pandangan Jibril itu membangunkan Rasul saw
kemudian beliau membuka kedua matanya dan bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril
berkata kepada Nabi saw, salam kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin
agar engkau melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di alam. Kemudian Jibril
berjalan bersama Nabi saw. Mereka keluar dari rumah dan beliau menyaksikan
Buraq yaitu makhluk yang menyerupai burung dan mempunyai sayap seperti burung
garuda; makhluk yang terbuat dari kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan Buraq.
Kilat adalah listrik dan listrik adalah cahaya. Cahaya adalah makhluk yang
tercepat yang kita kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu detik saja mencapai
186 ribu mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh tentang kendaraan luar
angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita tidak akan bertanya bagaimana
Nabi saw menembus alam ruang angkasa tanpa ada latihan sebelumnya dan berapa lama
waktu yang beliau gunakan untuk pulang pergi; kami juga tidak akan bertanya
tentang kecepatan Buraq; kami tidak heran dengan usaha penembusan luar angkasa
ini; kita tidak akan bertanya tentang semua itu karena kita mempunyai satu
jawaban dari semuanya: Allah SWT berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu
Allah SWT mengatakan kun jadilah, maka jadilah.
Para
ulama beselisih pendapat tentang apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan ruh
saja atau dengan ruhani dan jasad sekaligus. Ahli hakikat mengatakan bahwa itu
terjadi dengan ruh dan jasad. Tentu perselisihan itu berakibat pada
perselisihan akal dan terjerumus dalam perangkap kaifa (bagaimana) dan bertanya
tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha untuk menundukkan masalah ini terhadap
sebab-sebab yang biasa atau hukum-hukum kita yang alami atau logika
kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua itu. Apakah seseorang
akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik berserta ruh dan fisiknya ke
puncak segala puncak di langit kemudian beliau kembali sebelum tempat tidurnya
dingin? Mukjizat apa yang terjadi di sini yang melebihi mukjizat berubahnya air
mani menjadi manusia dan berubahnya benih menjadi pohon atau mukjizat air yang
menghidupkan tanah, atau ia mampu memuaskan kehausan si dahaga atau mukjizat cinta
yang mengikat dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara
itu, Buraq menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw
menungganginya bersama Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari cahaya
di atas gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke utara. Jibril mengisyaratkan
agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti. Jibril berkata di
tempat yang diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan Musa as. Kemudian Buraq
kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini yang berjalan
lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali lebih cepat darinya dan ia tidak
berubah dari cahaya.
Nabi
berjalan bersama Jibril dan memasuki Baitul Maqdis. Beliau memasuki masjid dan
beliau mendapati semua nabi sedang menunggunya di sana. Allah SWT membangkitkan
gambar para nabi-Nya dari kematian dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha.
Para malaikat memberinya suatu bejana yang di dalamnya terdapat susu dan bejana
yang lain yang di dalamnya terdapat khamer. Lalu beliau memilih susu dan
meminumnya. Dikatakan pada beliau, sesungguhnya engkau telah memilih fltrah dan
umatmu akan memilih fitrah.
Para
nabi mengitari Rasul saw dan datanglah waktu salat. Para nabi bertanya di
antara sesama mereka, siapa di antara mereka yang menjadi imam salat, apakah
itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau Isa? Jibril berkata kepada Muhammad saw,
sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk salat bersama para nabi.
Rasulullah saw berdiri dan salat bersama para nabi. Mereka semua adalah
orang-orang Muslim dan beliau adalah orang-orang Muslim yang pertama. Secara
logis bahwa beliau layak menjadi imam dari para nabi sebagaimana kitabnya
dijadikan kitab yang terbaik daripada kitab-kitab yang mendahuluinya. Beliau
membacakan Al-Qur'an kepada mereka dan beliau menangis saat membacanya. Kekhusukan
beliau saat membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para nabi
sujud di belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut
bersujud.
Selesailah
waktu salat dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke langit yang
mereka tinggal di dalamnya. Nabi keluar dari masjid bersama Jibril dan mereka
kembali menunggang Buraq seperti panah dari cahaya. Buraq semakin meninggi dan
ia melewati langit pertama lalu beliau menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada
panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah hamba-Ku semakin meninggi dan
menjauh." Kemudian hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah semakin terbang
menjauh ia melampaui langit demi langit. Beliau melampaui tempat materi dan
mulai menjangkau tempat ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di
haribaan Ilahi; beliau semakin tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak ruhani
dalam kecepatan yang tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau
melampaui kedudukan Nabi Adam di langit pertama dan melampaui kedudukan Nabi
Yahya dan Nabi Isa di langit kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan memanggil,
"hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Kemudian hamba Allah SWT dan
Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. Beliau melampaui
langit yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Beliau melampaui alam
materi semuanya dan melampaui alam ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul
Muntaha. Beliau sampai di tempat yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan
sebutan Sidratul Muntaha dan di sana Nabi melihat dan menyaksikan Jannatul Ma'wa.
Beliau menyaksikan yang kita tidak mampu mengetahuinya dan memahaminya bahkan
membayangkannya:
"(Muhammad
melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidnk
(pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 16-17)
Sungguh
terjadilah pada tempat itu apa yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran yang
misteri ini, Allah SWT memberitahu kita bahwa terjadilah hal penting di sana
meskipun hakikat hal tersebut tersembunyi dari kita. Sesuatu yang Allah SWT
sembunyikan dari kita tersebut disaksikan oleh Rasul saw. Itu adalah mukjizat
yang khusus baginya; itu adalah tingkat cinta yang tidak tersingkap tabirnya
karena ketinggiannya yang tidak mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian
Tuhan pemilik surga dan neraka memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi
lagi." Hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat yang tinggi.
Kali ini beliau melihat Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau
mendapatinya dalam keadaan bertasbih kepada Allah SWT. Jibril tidak berada
dalam wujud manusia seperti yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril
as kembali ke dalam wujud malaikatnya. Nabi melihat Jibril dan ia merupakan
tanda kebesaran Allah SWT yang Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan
kepadanya:
Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan
itu terjadi dengan hati dan mata serta panca indera yang dikenal dan yang tidak
dikenal. Pemandangan itu benar-benar jelas. Di sana bukan mimpi, bukan
khayalan, dan bukan gambaran. Rasul saw melihat semua itu dengan jasadnya dan
ruhaninya:
"Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian
Rasulullah saw menuju ke tempat yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Beliau
semakin naik ke tingkat yang makin tinggi sampai beliau berdiri di hadapan
Tuhan Pencipta langit dan bumi dan Penebar kasih sayang di dunia dan di akhirat.
Orang Muslim yang paling sempurna itu bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta
sambil berkata: "Sungguh penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang
baik tertuju hanya kepada Allah SWT." Allah SWT membalasnya: "Salam
kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah SWT serta berkat-Nya juga tercurah
kepadamu." Para malaikat pun ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan
mengatakan: "Salam kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang
saleh."
Ungkapan-ungkapan
tersebut merupakan permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan orang-orang
Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap hari. Salat telah diwajibkan
atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini. Hal populer di kalangan
umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan atas Nabi mula-mula lima
puluh salat sehari. Kemudian Nabi turun dari langit lalu beliau menemui Nabi
Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya kepadanya tentang jumlah salat yang
diwajibkan Allah SWT kepada umatnya. Nabi menceritakan bahwa Allah SWT telah
menentukan lima puluh kali salat. Nabi Musa berkata sungguh umatmu tidak akan
kuat untuk melakukan salat itu, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah
kepadanya agar Dia meringankan bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada Tuhan-Nya
sehingga Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh kali. Setelah itu, Nabi
kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa memperingatkannya.
Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga sampai diturunkan salat
dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari. Namun salat yang lima kali itu pahalanya
sama dengan salat yang lima puluh kali.
Menurut
hemat kami, kisah tersebut tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab ulama yang
benar-benar teliti. Kami kira, kisah itu tersebut merupakan rekayasa
orang-orang Yahudi di mana mereka masuk Islam dan mereka memenuhi kitab-kitab
dengan dongeng-dongeng khurafat dan mereka menisbatkannya kepada Rasul.
Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan Musa sebagai seorang Nabi yang
mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta keringanan atas umatnya sehingga
terkesan Nabi Musa menjadi seseorang yang lebih mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui oleh Nabi Muhammad. Kami sendiri cenderung untuk menolak kisah
tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan Nabi dengan Allah SWT menimbulkan
rasa kebesaran dan kewibawaan yang luar biasa sehingga ketika Nabi telah pergi,
maka sangat berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi
menyaksikan dan melihat hal-hal yang tidak mampu diungkap oleh lisan dan tidak
mampu ditulis dengan pena. Beliau berada di suatu keadaan yang tidak dapat
dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja tidak mcnyebutkan apa
saja yang dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan rahasia antara Nabi dan
Tuhannya dan mukjizat yang khusus yang diperuntukkan baginya sebagai bentuk
penghormatan kcpadanya. Jadi Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu semua
untuk menegaskan bahwa beliau melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran
Tuhannya.
Kami
tidak mengetahui apa yang dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan
adalah, bahwa Nabi bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya dan beliau
menangis karena gembira. Kesedihan hatinya telah hilang selamanya. Setelah Nabi
melihat rahasia dan setelah penghormatan yang besar ini, beliau kembali
menemani Buraq dan pergi bersama Jibril untuk kembali ke bumi. Beliau kembali
dan mendapati tempat tidurnya masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali
sementara tempat tidumya belum dingin? Berapa lama waktu yang diperlukannya
saat melakukan perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata yang mengetahui.
Yang kita ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya
setelah Isra' dan Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta dadanya
dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta kepada Allah
SWT.
Kemudian
datanglah waktu pagi. Nabi menceritakan perjalanan dan pengalaman tersebut
kepada sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga berimanlah
orang-orang yang beriman padanya dan mendustakan kepadanya orang-orang yang
mendustakannya. Namun beliau tidak peduli dengan semua itu. Nabi terus melangsungkan
perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya,
datanglah suatu masa di mana Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah
telah mengalami penekanan yang luar biasa sehingga keadaan sangat tidak
mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah saw bergerak dengan dakwahnya. Lalu
Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia berhijrah. Kemudian mulAllah Nabi
berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga belas tahun beliau di Mekah. Islam
ingin membangun negaranya dan ingin menghilangkan pengepungan dan serangan kaum
musyrik. Mula-mula terjadilah perubahan sedikit dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah
saw keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah Arab
sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim. Beliau berada di tempat yang
bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw
berkata kepada mereka, "siapa kalian?" Mereka menjawab: "Kami
berasal dari kelompok Khazraj." Beliau berkata. "apakah kalian
termasuk pembantu kaum Yahudi?" Mereka menjawab, "benar." Beliau
berkata, "maukah kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit
berbicara dengan kalian." Mereka menjawab: "Boleh." Kemudian
mereka duduk bersama Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama
Allah SWT.
Rasulullah
saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an. Enam
orang mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau selesai
dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman kepadanya. Kemudian
mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka meninggalkan kaumnya karena
kaum mereka terlibat peperangan dan kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT
mengumpulkan mereka dengan kedatangan Nabi saw yang mulia ini. Mereka
memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan menceritakan kepada kaumnya apa yang
mereka dengar dari Nabi saw dan akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah
Nabi.
Keenam
lelaki itu kembali ke kota Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah
Munawarah yang sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT
berkehendak untuk meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah
dan mereka membawa Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian
datanglah musim haji dan keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki dari
orang-orang yang beriman yang di antara mereka terdapat enam orang yang
Rasulullah saw telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw
menemui mereka di 'Aqabah. Kemudian Nabi melakukan baiat pada mereka agar
mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum
lelaki itu kembali ke Madinah disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh
Islam yaitu Mus'ab bin Umair di mana ia menjadi utusan Rasulullah saw di
Madinah dan ia mengajari manusia tentang agama mereka dan membacakan kepada
mereka Al-Qur'an dan menyerukan kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah
Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai bertanya-tanya, mengapa
saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas? Mengapa Rasul saw keluar untuk
berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau justru mendapatkan angin
kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah saw teraniaya dan
terusir di Mekah?
Demikianlah,
pergilah tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah
Munawarah. Mereka pergi ke 'Aqabah dalam keadaan sendirian dan
berkelompok-kelompok. Islam telah menghasilkan buah pertamanya dalam hati
mereka sehingga hati mereka dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta
kaum Muslim. Penderitaan yang dialami kaum Muslim mempengaruhi jiwa mereka dan
mencegah mereka dari mendapatkan kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan dan
nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat kepada Rasul
saw untuk membela beliau menolongnya dan melindunginya serta siap untuk mati di
jalannya. Mereka datang setelah hati mereka diliputi oleh Islam dan mereka
memberikan segala sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang sebagai
pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab
hadis yang suci meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah al-Kubra.
Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama
Nabi dan saat itu ia masih berada dalam agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan
urusan anak pamannya. Ketika ia duduk dan berbicara, ia mengatakan suatu
pernyataan yang mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari
kaumnya dan kekuatan di negerinya tetapi ia enggan dan memilih untuk bergabung
bersama kalian wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan
melindunginya, maka ambillah ia, namun jika kalian khawatir jika suatu saat
nanti akan mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia di
negerinya.
Kata-kata
Abbas tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga namun
penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia bukan
termasuk dari agama mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasul
saw yang mereka capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari penduduk
Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang
engkau katakan, maka berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan
Tuhanmu apa saja yang engkau sukai."
Kita
ingin mengamati jawaban sekelompok orang yang mukmin dari penduduk Madinah ini
sehingga Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu
Muthalib tersembunyi dalam pernyataan Nabi. Demikianlah setelah Rasulullah saw
mengucapkan kalimatnya, maka tidak keluar pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi
yang berbicara dan mereka hanya menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar
mengambil pada dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka merasa
tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi berbicara lalu beliau
membaca Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT. Kemudian beliau bebicara
tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu beliau sehingga mereka pun
membaiat kepadanya. Demikianlah terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang
yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan
diajak untuk mengangkat senjata: mereka diajak untuk mendapatkan kematian di
bawah naungan pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan
mendapati orang-orang yang sudah terlatih dalam peperangan karena mereka
mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah
seorang dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting. Abul
Haitsyam berkata: "sesungguhnya di antara orang-orang Madinah dan Yahudi
terdapat suatu tali ikatan, maka mereka boleh jadi akan memutuskannya lalu,
apakah sikap yang harus kita ambil jika mereka lakukan hal itu dan memusuhi
orang-orang Yahudi," kemudian Allah SWT menolong Nabi dan memenangkan atas
kaumnya, lalu ia kembali kepada mereka dan meninggalkan mereka di bawah kasih
sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah
bahwa pertanyaan tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan
agar Nabi tetap bersama mereka selama perjalanan hari dan bulan. Masalah yang
dituntut oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perlindungan
mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi diperdebatkan oleh
orang-orang yang terpilih dari penduduk Madinah. Namun masalah yang mereka
inginkan adalah masalah perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di
Madinah.
Nabi
tersenyum dan beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justru menekankan bahwa
ikatan akidah lebih kuat daripada ikatan darah. Beliau berkata: "Tetapi darah
adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku dari kalian dan kalian
dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai
dengan orang-orang yang kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya,
penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka. Kemudian berita tentang
baiat ini sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para tokoh musyrik, lalu
mereka justru menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para
preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah. Mereka menetapkan akan mengambil
sesuatu keputusan penting berkaitan dengan Nabi. Salah seorang dari mereka
mengusulkan agar beliau dibelenggu dengan besi lalu dibuang di penjara sehingga
beliau mati kelaparan. Sebagian lagi mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah
dan diusir. Abu Jahal mengusulkan agar mereka mengambil dari setiap keluarga
dari keluarga-keluarga Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari
mereka diberi pedang yang terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu
ke tubuh Nabi. Jika mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah
bertanggung jawab terhadap darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu
menuntut dan memerangi orang Arab semuanya dan mereka akan menerima diat
sebagai tebusan dari pembunuhan itu. Demikianlah persekongkolan itu digelar dan
mereka sepakat untuk melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim menyingkap
persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam firman-Nya:
"Dan
(ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu untuk
menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka
memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baih Pembalas tipu daya." (QS.
al-Anfal: 30)
Allah
SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah. Lalu Nabi mulai menyiapkan
sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan tersebut bahkan
beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya. Rasulullah saw menyewa
seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang mengenal padang gurun seperti
mengenal garis-garis tangannya. Yang mengherankan penunjuk jalan itu adalah
seorang musyrik. Demikianlah Nabi memita bantuan kepada orang yang ahli tanpa
memperhatikan keyakinannya.
Kemudian
datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin
Abi Thalib untuk tidur di tempat tidumya di malam tersebut. Datanglah
pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda
Mekah mengepung rumah. Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah
lalu beliau melemparkannya ke arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk sehingga
Nabi saw dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekah dan
berhijrah.
Dengan
langkah yang diberkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun
dalam Islam adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi menanggali tahun
mereka dengan kelahiran Isa dan ini disebut dengan tahun Masehi. Adapun
tahun-tahun Islam, maka ia ditanggali pertama kalinya saat Rasulullah saw
keluar berhijrah di jalan Allah SWT. Hijrah Rasul bukan hanya lari dari
penindasan tetapi lari dari kebekuan; hijrah tersebut bukan keluar dari
keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di Mekah hanya dapat mempertahankan
dirinya tetapi ketika ia keluar ke Madinah ia mempertahankan dirinya ketika
menyerang. Dan selama beberapa tahun masa yang dihabiskan di Mekah, tak seorang
dari kaum Muslim yang mengangkat senjata. Ketika mereka keluar ke Madinah,
mereka mulai membawa senjata dan mulai menyalakan obor peperangan. Islam mulai
membawa senjata sebagaimana luka akan sembuh dengan syarat jika diobati. Nabi
saw mengetahui bahwa Islam tidak akan menghabiskan usianya hanya untuk melawan
serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin mendirikan negaranya
yang pertama yaitu suatu negara yang belum pernah dikenal di muka bumi negara
seperti itu. Negara yang mencapai keadilan, kasih sayang, dan idealisme yang
begitu luar biasa di mana hukum Allah SWT ditegakkan dan kehormatan manusia
benar-benar dijaga.
Inilah
kedalaman hijrah yang mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah
sebelumnya membangun individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw membangun
masyarakat Muslim dan membangun masjid, maka beliau membangun suatu negara
Islam. Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami
kira pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya pembangunan masjid ditingkatkan
sementara Islam masih mengalami penindasan di muka bumi. Kami kira pembaca
lebih pintar daripada orang yang tidak mengetahui bahwa masjid yang dibangun
Rasulullah saw di Madinah bukan tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi
masjid merupakan pusat dari kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan
menuju peperangan Islam.
Manusia
mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT setelah itu mereka mandi di kancah
peperangan dengan darah mereka. Pertanyaannya adalah, siapakah di antara mereka
yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum saudaranya? Demikianlah
perlombaan dalam perbaikan terjadi di antara mereka. Dengan cara demikianlah
Islam tersebar.
Sementara
itu, Nabi berlindung di suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke
gua itu bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul
beliau dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu. Abu
Bakar berkata kepada Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya salah
seorang mereka melihat di bawah kakinya niscaya mereka akan melihat kita."
Dengan
tenang, Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai
Abu Bakar apa yang kamu kira dengan dua orang yang ada di tempat yang sepi
sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?" Sebelum Rasulullah
saw mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai dari menenun
rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah mengatakan bahwa kaum musyrik
mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai di gunung Tsur lalu di situlah
mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki gunung dan mendaki gua itu. Lalu
mereka melihat di atas pintu gua itu terdapat tenunan laba-laba. Mereka
mengatakan, seandainya seseorang masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat
tenunan laba-laba di atas pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga
malam.
Demikianlah
keimanan tenunan laba-laba yang lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum
musyrik sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu
menuju Madinah. Dan Madinah pun menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw dan sahabatnya
memasuki Madinah, mula-mula masyarakat tidak mengenal siapa di antara mereka
yang menjadi Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap sahabatnya.
Akhirnya, Nabi menerangi kota Madinah. Beliau membangun masjid dan mendirikan
negaranya serta memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun
ditaklukkan dan Baitul Haram disucikan.
Beliau
menanamkan dalam akal dan hati suatu cahaya yang tidak akan pernah padam.
Kemudian berlangsunglah sepuluh tahun yang dilewatinya di Madinah di mana beliau
tidak menggunakannya untuk berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga belas
tahun yang beliau lalui di Mekah, beliau pun tidak mendapatkan istirahat yang
cukup. Semua kehidupan beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam.
Beban berat yang dipikul oleh punggung beliau yang mulia lebih berat dari beban
yang dipikul oleh gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu
memikul amanat yang pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta
gunung namun mereka pun enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa
mereka tidak akan mampu memikulnya. Lalu datanglah beliau dan beliau pun mampu
memikul amanat itu dan melaksanakannya secara sempurna. Yaitu amanat untuk
menyampaikan agama Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal manusia dari polusi
khayalisme dan khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan dengan hanya sujud
kepada Allah SWT.
Kemudian
mengalirlah dalam memori Nabi saw suatu arus dari gambar-gambar hidup:
bagaimana saat beliau memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal beberapa
memori dan nostalgia: bagaimana wahyu yang turun kepadanya dengan membawa
risalah di gua Hira, kemudian berubahlah pandangan dan bertiuplah angin
kebencian kepadanya, bahkan angin itu membawa pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang
dilemparkan ke wajah suci beliau. Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya
dipenuhi dengan kesedihan di hadapan gelombang gurun dan kesendirian serta
badai kesengsaraan. "Wahai manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT.
Demikianlah kalimat yang beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak sederhana
namun ia mampu membangkitkan dunia. Dan bergeraklah patung-patung yang begitu
banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali dirinya dengan kegelapan
dan kebencian yang dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar. para penguasa,
uang, emas, serta kebencian dan kedengkian setan yang klasik dan banyaknya
orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang Nabi pada saat beliau
mengatakan "tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi mengingat kembali
Waraqah bin Nofel ketika menceritakan kepadanya apa yang terjadi dan apa yang
dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan
mengusirnya?
Hari-hari
hijrah sangat panjang dan berat. Matahari sangat dekat dengan kepala dan rasa
panas sangat mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun semakin meningkat.
Setelah hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan
sambutan luar biasa. Beliau datang sendirian lalu mereka menolongnya; beliau
datang dalam keadaan takut lalu mereka mengamankannya; beliau datang dalam
keadaan lapar lalu mereka memberinya makanan; beliau datang dalam keadaan
terusir lalu mereka memberikan perlindungan.
Bangunan
Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau mulai membangun negaranya setelah
beliau membangun sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang pertama kali
dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau baru membangun negara.
Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem yang hanya berdasarkan
prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari sekadar tinta di atas kertas.
Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok ukur final dari nilai apa pun yang
diberlakukan di dunia. Dan Islam telah berhasil menerapkan pada masa-masa
pertamanya suatu sistem yang belum pernah dikenal dalam kehidupan manusia suatu
sistem seperti itu. Yaitu sitem yang menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan
kasih sayang yang mengagumkan. Hal yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw
adalah membangun masjid di mana di situlah unta yang ditungganinya berhenti.
Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari pasir-pasir dan batu-batu.
Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma. Barangkali ketika turun hujan, maka
tanahnya akan menjadi lumpur karena mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika
angin bertiup dengan kecang, maka ia akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di
bangunan yang sederhana ini, Rasulullah saw mendidik generasi Islam yang
tangguh yang dapat menghancurkan orang-orang yang lalim dan para penguasa yang
bejat dan mereka mampu mengembalikan kebenaran ke singgasananya yang terusir
dan terampas. Mereka mampu menyebarkan Islam di muka bumi. Mesjid itu tampak
kecil dan sederhana sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu
tidak menunjukkan kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu
orang-orang yang mendengarnya menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan
perintah harian untuk menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an
dibaca di masjid bukan seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan merasa
terpengaruh dengan keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di dalam
Islam bukanlah tempat satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum Muslim semua
burni adalah masjid namun masjid adalah simbol peradaban yang beriman kepada
Allah SWT dan hari akhir, sebagaimana ia menyuarakan ilmu, kebebasan dan
persaudaraan.
Semua
Nabi berbicara tentang persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan ribuan
kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah mewujudkan persaudaraan itu secara
praktis, yakni ketika karakter masyarakat saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi
mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad
bin Rabi', seorang kaya dari Madinah dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin
'Auf, seorang yang berhijrah dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman:
"Sesungguhnya, tanpa bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang
banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian dan
sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita, maka
lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku menceraikannya
lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf menjawab:
"Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu. Di manakah
pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul
Rahman bin 'Auf keluar menuju ke pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa
sesuatu yang dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan
kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah SWT dan lebih memilih
untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali ia
tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali dirinya dan melaksanakan
pernikahan.
Demikianlah
masyarakat Islam terbentuk dan menampakkan identitasnya berdasarkan cinta,
kebebasan, musyawarah, dan jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan suatu
penderitaan untuk mendapatkan roti atau potongan daging sebagaimana dikatakan
peradaban kita masa kini, tetapi pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup
materi ini dan menuju puncak yang lebih tinggi:
"Dan
katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang muhmin
akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran
bahwa apa yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan
itu mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya
memakan roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah cinta. Cinta dalam Islam
bukan hanya perasaan yang menetap dalam hati dan tidak diwujudkan oleh suatu
perbuatan; cinta dalam Islam merupakan langkah harian yang akan mengubah bentuk
kehidupan di sekitar manusia menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang
Muslim mencintai Tuhannya Pencipta alam semesta dan mencintai Rasulullah saw
dan mencintai kaum Muslim dan orang-orang yang berdamai dengan orang-orang
Muslim, meskipun keyakinan mereka berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim
mencintai makhluk secara keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga,
pasir dan gunung bahkan benda-benda mati pun mendapat cinta dari seorang
Muslim. Seorang Muslim jika dia benar-benar seorang Muslim akan merasakan dnta
yang dialami oleh Nabi Daud terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini
adalah perasaan sufi yang tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta yang
sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang baik yang
ada di sekitarnya di mana ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka
Nabi Isa tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah
cinta yang tersebar dalam kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju
kepada binatang dan benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan terwujud
dengan suatu keputusan dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi
cinta itu datang biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan adanya
kepemimpinan besar yang hati cenderung kepadanya dan akal mengambil darinya.
Dan yang dimaksud dengan kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang
Nabi. Beliau adalah cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau
adalah seorang yang paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit
mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun beliau
hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang paling sederhana.
Tempat tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan
yang di dalamnya memasak berbagai macam hidangan. Beliau justru menyiapkan
hidangan yang sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah roti kering yang
dicampur dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum
Muslim menyadari bahwa kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali ketika
cinta Allah SWT dan Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri,
cinta kepada wanita, cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan
apa saja yang tidak ada hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah
kaum Muslim sangat mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi
mereka. Di samping pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan
Islam yang berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan
dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi
ia merupakan tenunan dari sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan
kaum Muslim dari penyembahan selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua
belenggu yang hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim
memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia melihat
sesuatu dengan akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya. Dan
hendaklah ia merasa puas dengan sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya.
Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan
diskriminasi tetapi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung
jawab.
Dalam
ruang lingkup nas-nas yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak
ada kebebasan di hadapan orang Muslim selain kebebasan untuk berlomba-lomba
untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak
terbatas, dan pintu ijtihad tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena
pintu ijtihad adalah akal dan menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu
berarti akan membawa kematian baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang
mati akalnya atau menga-lami kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan
manusia dari sisi akal dan hati.
"Adalah
untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah
yang untukmu, dan Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang benar dengan
ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang
Islam karena kekafiran mereka dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang
memburuk, mereka ingin bertemu dengan pasukan yang tidak bersenjata; mereka
ingin bertemu dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka
membutuhkan harta untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT menginginkan mereka
dengan keadaan seperti itu agar mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar
mereka mampu memutus tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan
menang.
Keluarlah
orang-orang Muslim dalam peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan
mendapatkan keuntungan dan kesenangan dengan banyak mengambil ganimah. Namun
Allah SWT menginginkan terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat
pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir Mekah sebagai korban darinya dan agar
Madinah dapat menahan penderitaan dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya
pengikut Islam tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru
harus memberi kepadanya.
Nabi
mengetahui sebagai pemimpin pasukan ia harus mengingatkan pasukannya bahwa
mereka akan menemui kesulitan dan penderitaan, dan bukan masalah sepele seperti
yang mereka bayangkan. Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. Beliau
berbincang-bincang dengan Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan Miqdad bin
Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus melakukan peperangan apa pun
hasilnya dan apa pun pengorbanan yang harus dilakukan.
Kemudian
Rasulullah saw berkata: "Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri
kalian." Rasulullah saw mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw
khawatir jika mereka memahami bahwa baiat yang terjadi di antara mereka yang
berisi agar mereka melindungi beliau jika beliau diserang di Madinah saja, dan
memang pasal-pasal dari baiat itu mendukung hal itu. Tidakkah mereka mengatakan
kepada beliau: "Ya Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu
sehingga engkau sampai di negeri kami. Jika engkau sampai di negeri kami, maka
kami akan bertanggung jawab untuk melindungimu."
Mayoritas
pasukan terdiri dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui
keputusan mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar
mengetahui bahwa Rasul saw ingin mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena
itu, Sa'ad bin 'Auf berkata: "Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan
kami ya Rasulullah." Nabi menjawab, "benar." Kemudian kaum
Anshar menyatakan apa yang mereka rasakan.
Mendengar
pernyataan kaum Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan
beliau bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik
mereka berdasarkan Islam dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun
ia justru tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar
meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman kepadanya, mencintainya dan
akan mendengarkan apa saja yang beliau katakan serta akan benar-benar menaati
beliau.
Sa'ad
bin Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan dan
kami akan bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya
engkau membelah lautan lalu engkau menyelam di dalamnya niscaya kami akan
menyelam bersamamu dan tidak ada seseorang pun di antara kami yang akan
meninggalkanmu." Demikianlah keteguhan kaum Anshar. Kalimat tersebut
menetapkan peperangan paling penting dan paling berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan
kaum Anshar dan Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan
Nabi Musa ketika mereka mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa
bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk
saja." Namun kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul saw
memerintahkan mereka untuk melalui lautan dengan berjalan kaki di atas ombaknya
niscaya mereka akan melakukan hal itu walaupun berakibat pada tenggelamnya
mereka dan kematian mereka dan tak seorang pun yang akan menentang perintah
Rasul saw tersebut.
Akhirnya,
kaum Muslim bersiap-siap untuk memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat
kemah-kemah yang di situ ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan
tentara Islam. Tempat itu ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan
Rasul-Nya melakukan kesalahan dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat
menjadi pelajaran bagi kaum Muslim dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah
peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan untuk mengambil suatu kebijakan yang
penting yang berdasarkan pengalaman. Kemudian datanglah Habab bin Mundzir
kepada Rasulullah saw dan bertanya kepadanya, "apakah tempat yang kita
jadikan sebagai pusat pergerakan tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT
dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat mendahuluinya dan mengakhirinya yakni
kita tidak dapat memberikan pendapat kita ataukah itu hanya masalah yang
bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat kita dan sesuai kebijakan saat
perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah
saw berkata: "Tetapi itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu
daya." Habab berkata: "Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak
tepat." Sahabat yang sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan
Madinah dapat minum darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat mengambil
darinya. Kemudian berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat yang telah
ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah
pasukan Mekah di mana jumlah mereka mendekati seribu tentara dan mereka akan
berhadapan dengan tiga ratus tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada
di tempat yang jauh dari lembah.
Pasukan
kafir terdiri dalam perang Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan
pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan pasukan Muslim terdiri dari
keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat dari pasukan kafir. Allah SWT
telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan ayahnya, saudara bertemu
dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan peperangan. Mereka semua
dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka ditentukan oleh pedang.
Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama adalah kaidah
persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh di atas
dasar Islam, maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun keadaan tersebut
mereka sembunyikan.
Lalu
'Utbah bin Rabi'ah berbicara di tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak mereka
untuk menarik kembali dari peperangan. 'Utbah memberikan pernyataan sesuai
dengan tuntutan akal sehat, "wahai orang-orang Quraisy demi Allah, jika
kalian harus memerangi Muhammad, maka kalian akan menyesal karena kita
berhadapan dengan saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh
anak paman kita, atau salah seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak
membiarkannya saja?"
Kalimat
yang rasional tersebut cukup menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara
merasa puas dengan pernyataan tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada
gunanya peperangan itu. Namun kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional
itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang mengucapkan kata-kata adalah orang yang
penakut. Kemudian Abu Jahal lebih memilih pendapatnya untuk menetapkan terus memerangi
kaum Muslim.
Pemimpin
pasukan kafir yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong.
Kitab-kitab sejarah menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam
perang Badar bersama Abu Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut dan
bertanya kepadanya, "wahai Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa
Muhammad pernah berbohong? Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia
berbohong atas Allah, sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang dapat
dipercaya)." Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk mendustakan
Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan
sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan nilai
yang paling rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang,
sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di bumi
dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian
datanglah waktu malam menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang mukmin
sudah bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik. Orang-orang musyrik
datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki
persenjataan yang lengkap, sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu
kendaraan. Pakaian yang dipakai orang-orang musyrik tampak masih baru dan
pedang-pedang mereka tampak mengkilat serta baju besi yang mereka gunakan
sangat unggul dan kuat. Alhasil, mereka memiliki persiapan yang sangat
mengagumkan sedangkan pakaian yang dipakai orang-orang Muslim tampak sudah
usang dan pedang-pedang kuno pun mereka gunakan dan baju besi yang mereka
gunakan tampak tidak sempurna. Nabi melihat keadaan pasukannya lalu hati beliau
tampak sedih melihat pasukan tersebut. Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya
Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah
mereka. Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki,
maka tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian
rasa kantuk menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka beristirahat di
tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat itu basah
sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh tanah
perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan serta menyucikan hati dan
membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah
SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan
Allah menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan
memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah
waktu pagi di Badar lalu kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan
pasukan Muslim untuk bertahan. Rasulullah saw bersabda: "Jika musuh
mengepung kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan janganlah kalian
menyerang mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah
ketetapan militer yang sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim
membentengi mereka di tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan
kerugian dari serangan yang mereka lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer
saat ini bahwa seorang yang menyerang memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari
jumlah yang biasa dilakukan sehingga serangannya betul-betul efektif; kita
mengetahui bahwa jumlah pasukan musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan
tentara Muslim. Kaum musyrik dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk
memenangkan peperangan, dan persenjataan mereka lebih lengkap dari persenjataan
kaum Muslim. Jumlah hewan yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka,
sedangkan tiap tiga orang Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan
saat itu sangat menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak
menyertai bendera kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan bukan karena
kebesaran jumlah pasukan dan persenjataan yang lengkap. Terkadang peperangan
justru dimenangkan oleh unsur spiritual yang tidak kelihatan. Spiritualitas
tentara dan keimanannya tentang persoalan yang dipertahankannya serta
keinginannya untuk mendapatkan dua kebaikan: kemenangan atau kematian dan
hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu syahadah, semua itu dapat mengubah
seorang tentara menjadi makhluk yang tidak terkalahkan. Boleh jadi ia akan
merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan. Demikianlah keadaan pasukan
Muslim.
Sementara
itu debu-debu berterbangan di atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum
Muslim mencurahkan tenaga yang keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan
saling bertemu dan bertempur, Nabi saw melihat mereka, lalu Nabi saw
menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan yang berjumlah sedikit dengan
persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan oleh orang kafir. Dalam
keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada Tuhannya: 'Ya Allah,
kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah, wujudkanlah janji-Mu
kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan
disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah, bagaimana kesedihan Nabi
saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita dapat memahami mengapa Nabi
saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin
pasukan tertinggi Muhammad bin Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan
saat ini kematian sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh
Nabi saw pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi hal yang
sekarang dan menuju pada hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus Nabi
adalah penyembahan Allah SWT di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini
dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi
tidak terlalu mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru
mengkhawatirkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau khawatirkan
adalah penyembahan kepada Allah SWT akan berhenti di muka bumi. Oleh karena
itu, Nabi meminta tolong kepada Tuhannya dan mengingatkan kembali kepada
Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari hal itu. Kemudian turunlah bala tentara
malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah
SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya
bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan Allah tidak menjadikannya
(mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi
tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah
itu Nabi saw menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita
gembira wahai Abu Bakar, sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah
SWT."
Turunnya
para malaikat merupakan cara untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira
kepada mereka. Mukjizat itu bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam
peperangan, namun melalui nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih
dari sekadar membawa berita gembira dan memberikan dukungan moril serta
memenuhi hati dengan ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar para
malaikat menyaksikan manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah
tauhid.
Demikianlah
Allah SWT mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu,
hendaklah orang-orang yang beriman merasa tenang dan kebenaran akan tertancap
pada hati mereka sedangkan orang-orang kafir pasti akan merasakan ketakutan.
Allah
SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.' Kelak akan Aku
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka rasakanlah
hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab
neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu
orang-orang kafir pun mengalami kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah
tujuh puluh kafir dan tujuh puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan
melarikan diri. Runtuhlah tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan
tersebut. Hancurlahlah Abu Jahal, pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah
kini terkapar.
Rasulullah
saw berdiri di depan bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai
Utbah bin Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu
Jahal bin Hisam, apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan kalian
kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku."
Orang-orang Muslim berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum
yang sudah mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak mengetahui apa
yang aku katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab
perkataanku." Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar kemudian beliau
kembali ke Madinah. Di depan beliau terdapat tawanan-tawanan perang dan
ganimah.
Kaum
Muslim sangat menanggung beban berat dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula
Rasulullah saw bermusyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar
berkata: "Ya Rasulullah, mereka adalah keturunan dari saudara-saudara dan
keluarga, dan aku melihat lebih baik engkau mengambil fidyah (tebusan) dari
mereka sehingga apa yang engkau ambil tersebut merupakan kekuatan bagi kita
terhadap orang-orang kafir, dan mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada
mereka sehingga mereka menjadi tulang punggung kita."
Kemudian
Rasulullah saw menoleh kepada Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana
pendapatmu wahai Ibnul Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku
tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi aku berpendapat,
seandainya aku mampu untuk bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka aku
akan memukul lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu dengan keluarganya,
maka ia pun akan memukul lehernya begitu Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui
bahwa tidak ada di hati kita kelembutan kepada kaum musyrik."
Pasukan
Madinah dan pasukan Mekah terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat hubungan
kekerabatan, namun kehendak Allah SWT menetapkan terjadinya peperangan sesama
keluarga: antara anak dan orang tuanya. Umar menginginkan agar keadaan demikian
terus berlanjut sehingga orang-orang musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin
berdamai. Kemudian Selesailah urusan itu dan terjadi peperangan di jalan Allah
SWT dan mengangkat senjata dan berperang adalah suatu kewajiban yang tiada
keraguan di dalamnya. Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati
sebagian besar mereka cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti
pendapat mayoritas saat itu. Pendapat mayoritas salah dan hanya Umar yang
benar.
Ini
adalah peperangan pertama yang dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum Muslim harus
meninggalkan dorongan kemanusiaan mereka, yakni orang-orang kafir harus dibunuh
agar musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah memilih darah. Allah
SWT telah mendukung Umar bin Khattab dalam Al-Qur'an sehingga Nabi saw dan Abu
Bakar menangis ketika keduanya menyadari kesalahan mereka pada hari berikutnya,
lalu Umar memergoki mereka dalam keadaan menangis dan ia bertanya, "apa
yang menyebabkan Rasulullah saw dan temannya di gua menangis?" Kemudian
Rasulullah saw membaca Al-Qur'an:
"Tidak
patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya
di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki
(pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau
sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang hamu ambil." (QS. al-Anfal:
67-68)
Kedua
ayat itu mengatakan bahwa ini bukan saatnya melindungi para tawanan dan
berusaha untuk menebus mereka. Waktu Demikian belum saatnya. Nabi tidak berhak
memiliki tawanan kecuali jika ia telah melakukan banyak peperangan dan banyak
berjihad dan telah banyak membunuh dan dakwahnya telah mapan.
Kedua
ayat tersebut menyingkap tujuan di balik penebusan tawanan: "Kamu menghendaki
harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu)."
Demikianlah
pemikiran yang mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah
pemikiran yang bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah modern
dan bukan pemikiran yang bersifat strategis. Kemudian para tawanan tersebut
bukan tawanan biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah
penjahat-penjahat perang. Oleh karena itu, nyawa mereka harus ditumpahkan saat
mereka dapat ditangkap, meskipun mereka memiliki kekayaan yang banyak atau
kedudukan yang tinggi. Islam tidak mengakui kekayaan atau kedudukan, yang
diakuinya adalah keimanan, sedangkan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya
tidak dihiraukan oleh Islam.
Nas
Al-Qur'an memperingatkan orang-orang yang menang bahwa kesalahan mereka bisa
berakibat pada datangnya siksaan yang bakal mereka terima tetapi Allah SWT
mengampuni mereka dan menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya tidak ada
ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang
besar karena tebusan yang kamu ambil."
Siksaan
tersebut memang lebih dekat daripada pohon yang dekat ini, kemudian Allah SWT
mengampuni mereka dan Allah SWT mengampuni sahabat-sahabat yang terjun di
perang Badar, baik dosa yang lalu maupun dosa mereka yang akan datang.
Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum Muslim agar mereka tidak banyak
mempertimbangkan urusan manusiawi saat berperang. Jadi, Islam memulai
peperangannya yaitu peperangan yang hanya ditujukan kepada Allah SWT dan hendaklah
peperangan tersebut dihilangkan dari pertimbangan-pertimbangan yang sulit
sehingga sahabat-sahabat Nabi mengetahui bahwa kecenderungan kepada kesenangan
duniawi akan berakibat pada kekalahan mereka.
Dalam
peperangan Uhud jumlah kaum musyrik tiga ribu sedangkan jumlah kaum Muslim tiga
ratus pasukan setelah pemimpin orang-orang munafik Abdullah bin Saba'
mengundurkan diri pasukan. Kaum Muslim diletakkan di gunung dan Rasulullah saw
membuat rencana yang jitu untuk memenangkan pertempuran di mana beliau membagi
pasukan pemanah di puncak gunung untuk melindungi punggung kaum Muslim dan
melinduingi mereka dari serangan dari arah belakang. Rasulullah saw memberi
pengertian kepada pasukan panah itu agar mereka tetap di tempatnya baik kaum
Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa pasukan pemanah tidak boleh turun dari
gunung dan meski berusaha untuk melindungi kaum Muslim. Rasulullah saw berkata
kepada mereka. "lindungilah punggung-punggung kami. Jika kalian melihat
kami sedang bertempur, maka kalian tidak usah turun darinya dan tidak usah
menolong kami, dan jika kalian melihat kami memperoleh kemenangan dan mengambil
ganimah, maka kalian tidak boleh ikut serta bersama kami."
Setelah
membuat keputusan tersebut, Rasulullah saw kembali ke pasukan yang lain, lalu
beliau membikin suatu rencana untuk menyerang. Dan Dimulailah peperangan
kemudian pasukan Islam mendorong pasukan musyrik laksana angin yang kencang
yang memporak-porandakan ribuan kaum musyrik. Pada tahapan pertama pasukan
Islam tampak menguasai medan dan berhasil menyapu kaum musyrik sehingga pasukan
Mekah tampak berputus asa meskipun mereka unggul secara bilangan dan meskipun
mereka memiliki kuatan persenjataan yang lengkap, pasukan Mekah justru
dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang dapat memukul mundur mereka
hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat memenangkan peperangan atau
dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu
peperangan mulai berterbangan yang menyertai tanda-tanda kekalahan pasukan
Mekah. Sementara itu, para pemanah yang diletakkan Rasulullah saw di suatu
tempat yang strategis berpikir untuk memperoleh ganimah. Pasukan Mekah telah
kalah dan mereka telah melarikan diri dari pasukan Muslim, maka bagaimana
seandainya para pemanah turun dari tempat mereka untuk mengumpulkan harta
rampasan dan ganimah. Rasulullah saw telah mengingatkan mereka agar jangan
meninggalkan tempat mereka, apa pun yang terjadi tetapi pasukan pemanah itu
justru berkhianat dan menentang perintah Nabi saw setelah mereka membayangkan
bahwa peperangan telah selesai dan keuntungan akan diperoleh pasukan Madinah
yang beriman.
Pasukan
pemanah mengira bahwa Allah SWT akan menutupi kesalahan mereka dan akan
melindungi mereka sehingga mereka berhasil mengambil harta rampasan dan
ganimah. Sungguh keikhlasan telah tercabut dari hati sebagian pasukan. Belum
lama hal tersebut berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang drastis pada
peperangan. Pemimpin pasukan berkuda musyirik dalam peperangan Uhud yaitu
Khalid bin Walid yang kemudian ia menjadi tokoh Muslim adalah orang yang sangat
jenius dalam peperangan. Begitu ia melihat pasukan pemanah lari dari tempat
mereka, maka ia melihat celah yang terbuka di tengah-tengah kaum Muslim,
sehingga ia segera memutarkan kudanya dan disertai pasukan yang mengikutinya.
Kemudian ia menyerang kaum Muslim dari belakang. Serangan yang dilakukan Khalid
itu sangat cepat dan sangat mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil
kesempatan emas. Mereka yang tadinya lari, kini mereka menarik diri dan justru
menyerang kembali.
Pasukan
Muslim dikepung dari dua arah oleh pasukan berkuda: satu dari belakang dan yang
lain dari depan. Kemudian berjatuhanlah korban-korban dari pasukan Muhammad bin
Abdillah. Banyak di antara mereka yang mati sebagai syahid saat mempertahankan
dan melindungi Rasulullah saw, bahkan sang Nabi pun hidungnya terluka dan
giginya pun runtuh dan kepala beliau yang mulia terluka sehingga beliau
mengucurkan darah.
Kemudian
tersebarlah isu bahwa Muhammad saw telah meninggal. Ketika mendengar itu, kaum
Muslim sangat terpukul dan sangat sedih sehingga kaum Muslim pun
terpecah-pecah. Sebagian mereka kembali ke Mekah dan sekelompok yang lain ke
atas gunung dan mereka tetap menjaga Nabi saw yang mulia. Ketika mendengar
kematian Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada kaumnya: "Bangkitlah kalian
dan matilah seperti kematiannya. Apa yang kalian lakukan setelah kalian hidup
sesudahnya."
Pasukan
Muslim tetap bertahan dan melakukan peperangan, lalu tekanan kaum musyrik
semakin berat kepada Nabi saw dan para sahabatnya. Kemudian terjadilah kejadian
yang paling sulit dalam sejarah umat Islam. Nabi saw berteriak saat melihat
kaum musyrik menekannya dan berusaha membunuhnya: "Barangsiapa yang dapat
mengusir mereka dariku, maka baginya surga."
Mendengar
perkataan itu, kaum Muslim segera mengitari Nabi saw dan melindungi beliau
sehingga banyak dari mereka berguguran sebagai syahid. Bahkan sahabat-sahabat
Abu Juanah melindungi Nabi saw sampai-sampai punggungnya dipenuhi dengan
anak-anak panah. Ia bagaikan baju besi yang dipakai kepada Nabi saw dan ia
tetap kokoh melindungi sang Nabi saw. Kemudian berubahlah keadaan karena
keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan oleh kaum Muslim. Pasukan Mekah
merasa puas dan mereka memilih untuk menarik diri. Saat itu orang-orang Quraisy
tidak lebih sedikit penderitaannya daripada orang-orang Muslim.
Setelah
peperangan yang dahsyat itu, kaum musyrik menarik diri setelah mereka berhasil
membunuh beberapa orang Muslim, bahkan mereka berhasil melukai pemimpin pasukan
yaitu sang Nabi saw. Semua itu terjadi karena satu kesalahan yaitu kesalahan
terletak pada penentangan dan pembangkangan para pemanah terhadap perintah sang
Rasul saw dan usaha mereka untuk meninggalkan tempat mereka.
Ketika
sebagian kelompok dari sahabat kehilangan pengorbanan dan kehilangan sikap
ikhlas dalam hati mereka, maka kesalahan tersebut harus dibayar oleh tentara
yang paling berani dan mulia di antara mereka yaitu sang Nabi saw. Langit tidak
ikut campur untuk menyelamatkan pasukan Islam itu. Kesalahan kaum Muslim itu
harus dibayar oleh Rasul saw di mana wajah beliau pun terluka bahkan keluar
darah yang cukup deras dari luka beliau sehingga setiap kali dituangkan air di
atas luka itu, maka darah pun semakin deras mengucur. Darah itu tidak berhenti
kecuali setelah dibakarkan potongan tembikar lalu dilekatkan di atasnya.
Luka
beliau bukan hanya bersifat materi tetapi luka spiritual beliau dan ruhani
beliau pun semakin bertambah. Ini beliau rasakan ketika mendengar bahwa
pamannya Hamzah gugur sebagai syahid dan tidak cukup dengan itu, bahkan istri
Abu Sofyan yaitu Hindun membelah perutnya dan mengeluarkan jantungnya serta
mengunyahnya dengan mulutnya. Semua itu semakin menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum
Quraisy menguasi pasukan Muslim dan mereka memberlakukan dan menekan kaum
Muslim secara aniaya. Seandainya bukan karena rahmat Allah SWT niscaya kaum
Muslim akan mengalami kekalahan yang telak. Kemudian turunlah dalam Al-Qur'an
al-Karim ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim agar mereka benar-benar ikhlas dan
memahamkan mereka bahwa kekalahan mereka sebagai akibat dari adanya pasukan di
antara mereka yang menginginkan dunia meskipun di antara mereka ada sebagian
yang menginginkan akhirat. Jika terjadi demikian, maka tidak adajalan untuk
memperoleh kemenangan. Ini bukanlah hal yang diinginkan oleh pasukan Muslim,
yang diharapkan adalah hendaklah semua pasukan tertuju untuk mencapai ridha
Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat. Jika demikian halnya, maka Allah SWT
akan memberi mereka dunia dan akhirat.
Allah
SWT berfirman dan menceritakan peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di
antaramu ada orang yang menghendahi dunia dan di antara kamu ada orangyang
menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji
kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah
SWT memaafkan hal itu. Orang-orang Muslim kini menghitung jumlah korban mereka
dan mengobati orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bertanya tentang
pamannya Hamzah, dan ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah sahabat yang
gugur, dan orang-orang kafir telah merusak jasadnya, maka beliau berkata dalam
keadaan menangis: "Tidak akan ada orang yang akan tertimpa sepertimu
selama-lamanya."
Kemudian
Nabi saw berdiri dan memuji Allah SWT lalu beliau memerintahkan untuk
mengembalikan orang-orang yang terbunuh dari kaum Muslim ke tempat asal mereka
di mana mereka terbunuh. Saat itu keluarga mereka telah membawanya ke kuburan
kemudian Nabi saw mengumpulkan kedua orang laki-laki dari pahlawan-pahlawan
Uhud dalam satu pakaian dan beliau bertanya siapa di antara keduanya yang
paling banyak mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah
satunya, maka beliau akan mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang lahad.
Rasulullah
saw juga memerintahkan agar mereka dikebumikan dengan darah mereka dan beliau
pun tidak mensalati mereka, serta tidak memandikan mereka. Allah SWT ingin
memperlihatkan bagaimana mereka dibangkitkan pada hari kiamat lalu beliau
bersabda: "Tiada seorang pun yang terluka di jalan Allah SWT kecuali Allah
SWT membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di mana Iukanya akan mengucur
darah. Warna itu adalah warna darah dan baunya seperti minyak misik."
Bukanlah
penderitaan yang dalam yang merupakan pelajaran yang harus dimengerti kaum
Muslim dari peperangan Uhud sebagai akibat dari pembangkangan mereka dari
perintah Rasul saw dan ketidaktaatan mereka kepadanya, tetapi wahyu juga
menurunkan berbagai pelajaran yang lain yang dapat dimanfaatkan. Pelajaran yang
terpenting setelah pelajaran kesetiaan adalah penjelasan tentang central utama
yang di situ kaum Muslim berkumpul. Pribadi Rasulullah saw bukanlah markas yang
di situ kaum Muslim berkumpul yang ketika pribadi Rasulullah saw yang mulia
pergi karena satu dan lain hal, maka orang-orang Muslim akan pergi dan
meninggalkan beliau. Tidak seharusnya pribadi Rasul saw menjadi markas atau
central tetapi yang menjadi central dari semuanya adalah pemikiran beliau.
Itulah yang paling penting.
Demikianlah
bahwa Al-Qur'an al-Karim mencela orang-orang yang meletakkan senjatanya ketika
tersebar isu terbunuhnya Nabi saw. Islam tidak akan mencapai puncaknya ketika
kaum Muslim berkumpul di sisi Rasulullah saw saat beliau masih hidup namun
ketika beliau terbunuh atau mati, maka mereka murtad di mana mereka membuang
senjatanya dan pergi mengurusi diri mereka sendiri. Orang-orang Islam adalah
orang-orang yang mengikuti prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin
Abdillah memang seorang pemimpin manusia dan Imam para rasul dan penutup para
nabi, dan sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia, namun ini semua tidak
membenarkan bahwa seorang Muslim diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya
ketika Rasul saw wahfat atau terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul
senjatanya dan tidak membuang dari tangannya kecuali dalam dua keadaan: pertama
ketika ia telah memperoleh kemenangan dan kedua ketika ia telah mati.
Nas
Al-Qur'an menjelaskan secara gamblang hubungan kaum Muslim dengan akidah Islam,
bukan dengan pribadi sang Rasul saw. Allah SWT berfirman:
"Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang (tnurtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maha ia tidak dapat
mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orangyang bersyukur." (QS. Ali 'Imran: 144)
Demikianlah
bahwa peperangan Uhud telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kaum
Muslim, utamanya terhadap Nabi saw. Orang-orang yang terbunuh di perang Uhud
adalah sahabat-sahabat yang paling mulia dan paling banyak imannya. Mereka
adalah pilihan dari orang-orang Muslim yang pertama; mereka memikul beban
dakwah di saat-saat yang sulit bahkan mereka harus berhadapan dan memusuhi
kerabat mereka dan teman-teman mereka; mereka menjadi terasing saat menyatakan
keislaman mereka sebelum hijrah dan sesudahnya; mereka telah menginfakkan
harta; mereka berjuang di jalan Allah SWT; mereka telah bersabar dalam
menanggung berbagai macam penderitaan, dan ketika datang saat yang paling
berbahaya dan pasukan Islam telah terkepung di mana jiwa Rasul saw telah
terancam, mereka justru mencurahkan darah mereka bagaikan lautan yang
menenggelamkan orang-orang kafir dan mereka mampu melindungi sang Rasul saw dan
mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan akidah tauhid.
Peperangan
Uhud bukanlah pengorbanan pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan bukanlah
merupakan peperangan yang terakhir. Ia adalah satu peperangan di antara cukup
banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk menyebarkan kalimat Allah SWT
di muka bumi dan membimbing hamba-hamba-Nya. Begitu juga pengorbanan Rasul saw,
dan peperangan Uhud bukanlah pengorbanan yang pertama terhadap Islam dan bukan
juga yang terakhir. Rasulullah saw telah hidup setelah diutusnya kepada manusia
di mana beliau telah memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah;
beliau tidak memiliki dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan waktunya dengan
sia-sia bahkan beliau beristirahat sedikit saja. Semua kehidupan beliau
diberikan kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau menjalani berbagai macam
peperangan dan beliau memikul berbagai macam penderitaan dan belum lama beliau
lari dari suatu problem kecuali beliau berhadapan dengan problem yang baru dan
lain; belum lama beliau menyelesaikan suatu krisis kecuali beliau menghadapi
krisis yang lain. Demikianlah kehidupan sang Nabi saw di mana beliau selalu
memberikan kontribusi dan sumbangannya demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan
Anda mengamati kehidupan sang Rasul saw dari sudut manapun yang Anda inginkan
niscaya Anda tidak akan menemukan sudut dari sudut-suduut kehidupan beliau
kecuali dimulai dan dipenuhi dengan pergulatan yang hebat.
Rasulullah
saw telah melalui pergulatan militer dalam berbagai macam pertempuran yang
silih berganti yang beliau lakukan. Beliau memulai pergulatan politiknya yang
terwujud dalam perundingan-perundingan dan surat-surat yang beliau kirimkan
kepada penguasa dan para raja di berbagai negara agar mereka memeluk Islam,
bahkan beliau melakukan pergulatannya dalam masalah pribadi di rumah tangga.
Rumah tangga beliau pun tidak kosong dari pergulatan. Beliau adalah pejuang
sejati dalam setiap waktu. Kalau kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang
musafir di jalan Allah SWT, maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang
di jalan Allah SWT. Belum lama peperangan Uhud berakhir sehingga
pengaruh-pengaruh buruknya berbekas pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui
mulai berani bersikap kurang ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi,
apalagi orang-orang munafik dan tidak ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai
menyudutkan kaum Muslim.
Kemudian
datanglah utusan dari kabilah Arab kepada Rasul saw dan mereka mengatakan
kepada beliau bahwa mereka mendengar tentang Islam dan mereka ingin memeluknya,
maka hendaklah beliau mengutus kepada mereka beberapa dai dan mubalig untuk
mengajari mereka tentang dasar-dasar agama. Nabi saw mengutus bersama mereka
sekelompok para dai yang dipimpin oleh 'Ashim bin Tsabit. Temyata orang-orang
itu berkhianat atas para sahabat-sahabat yang berdakwah itu dan mereka pun
dibunuh. Bahkan tiga di antara mereka ditawan dan dijual di Mekah. Dijualnya
mereka di Mekah berarti mereka diserahkan pada kelompok orang-orang Quraisy
yang telah lama menunggu untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah
membunuh tiga tawanan kaum Muslim itu. Orang-orang Muslim sangat sedih
mendengar dai-dai Allah SWT itu terbunuh dengan cara yang begitu tragis.
Ketika
datang kepada Nabi saw orang-orang yang minta pada beliau agar dikirim utusan
dari kalangan mubaligh untuk menyebarkan Islam untuk para kabilah kaum Najd,
maka Nabi kali ini betul-betul mempertimbangkan antara kepentingan menyebarkan
Islam dan perlindungan terhadap kehormatan manusia. Lalu beliau memilih untuk
kepentingan dakwah Islam. Beliau menyadari bahwa beliau mengutus para
sahabatnya dalam bahaya; beliau memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi
suatu keadaan yang misterius yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun
bahaya tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa kehidupan yang selalu
meliputi dakwah Islam.
Ketika
Nabi saw mengutarakan kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang bakal
diutusnya di tengah kabilah itu, orang-orang yang meminta beliau untuk mengutus
para sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan melindungi sahabat beliau.
Kemudian Nabi saw memerintahkan tujuh puluh orang pilihan dari sahabatnya untuk
pergi dan berjihad di jalan Allah SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti
Islam. Lalu pergilah para sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan
al-Qurra' (yaitu orang-orang yang pandai membaca Al-Qur'an dan menghapalnya).
Mereka adalah para dai yang terbaik yang diutus Nabi di mana pada siang hari
mereka memikul kayu bakar dan pada malam hari mereka sibuk dalam keadaan salat.
Ketika datang perintah Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi dan berdakwah
mereka pun pergi dalam keadaan gembira karena mereka diajak untuk berjihad di
jalan Allah SWT. Mereka melangkahkan kaki dengan mantap di tanah orang-orang
munafik dan para penghianat sehingga mereka sampai di suatu sumur yang bemama
sumur Ma'unah. Kemudian mereka mengutus salah seorang di antara mereka untuk
menemui pemimpin orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig dari sahabat
Rasulullah saw itu menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di mana beliau
mengharapkan agar masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia dikagetkan dengan
adanya pisau yang menembus punggungnya. Mubaligh itu berteriak saat ia
tersungkur: "sungguh aku beruntung demi Tuhan pemelihara Ka'bah."
Kemudian
pemimpin orang-orang kafir itu mengangkat senjata dan mengumpulkan para kabilah
untuk memerangi para mubaligh di jalan Allah SWT itu sehingga sahabat-sahabat
terbaik yang berdakwah di jalan Allah SWT itu pun gugur di sumur Ma'unah.
Jasad-jasad mereka menjadi makanan dari burung nasar dan burung-burung yang
lain. Dari tujuh puluh orang yang dikirim itu hanya seorang yang selamat yang
kembali kepada Nabi saw. Ia menceritakan apa yang dialami oleh fuqaha-fuqaha
Muslimin di mana mereka dikhianati. Ketika mendengar berita tentang tragedi
itu, Nabi sangat terpukul dan sedih. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan
berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Sungguh sahabat-sahabat kalian telah
terbunuh dan mereka telah meminta kepada Tuhan mereka. Mereka mengatakan, Tuhan
kami, berikanlah kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja
yang menjadi kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh
penderitaan yang dialami oleh Islam sangat berat, terutama yang menimpa para
sahabat yang gugur sebagai syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw sangat sedih
mendengar sikap orang-orang Arab dan orang-orang kafir terhadap Islam. Mereka
telah mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai pada batas ini. Kemudian
beliau menetapkan akan kembali mengangkat kewibawaan Islam dengan tindak kekerasan.
Dalam
keadaan seperti ini, bergeraklah orang-orang Yahudi untuk membunuh Rasulullah
saw. Pada suatu hari beliau pergi ke Bani Nadhir untuk menyelesaikan suatu
urusan. Kemudian mula-mula mereka menampakkan persetujuan atas apa yang
diucapkan beliau. Mereka mendudukkan Nabi di bawah naungan benteng-benteng
mereka, lalu mereka bersekongkol untuk melenyapkan beliau; mereka menetapkan
untuk melemparkan batu yang berat dari atas benteng itu saat beliau duduk dan
tidak membayangkan akan terjadinya kejahatan yang direncanakan padanya. Namun
Allah SWT mengilhami Rasul-Nya akan datangnya bahaya kepada beliau, lalu beliau
bangun sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu beliau segera pergi menuju
rumahnya. Beliau berpikir saat beliau kembali ke rumahnya dengan membawa
penderitaan yang baru. Pembangkangan dan pengkhianatan tersebut tidak akan
dapat berhenti kecuali setelah Islam menunjukkan taringnya. Islam ingin
mengembalikan kewibawaannya dengan cara mengangkat senjata.
Rasul
saw mengutus utusan ke Bani Nadhir dan memerintahkan mereka untuk keluar dari
Madinah, bahkan Rasul saw memberi waktu kepada mereka hanya sepuluh hari.
Kemudian orang-orang munafik yang ada di Madinah bersatu bersama orang-orang
Yahudi dan mereka sepakat untuk memerangi Islam. Namun ketika berhadapan dengan
Islam, orang-orang Yahudi menelan kekalahan. Kemudian turunlah surah al-Hasyr
yang menyebutkan pengusiran orang-orang Yahudi dan menyingkap kedok orang-orang
munafik. Setelah kemenangan yang meyakinkan ini, Rasul saw keluar bersama
sahabatnya untuk membalas kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya yang dikenal
dengan al-Qurra' itu. Rasul saw ingin mengembalikan kewibawaan Islam. Kemudian
pasukan Rasul saw itu mampu membuat para pengkhianat dari orang-orang Arab
ketakutan. Hanya sekadar mendengar nama pasukan Muslim, maka serigala-serigala
gurun yang dulu bengis itu pun ketakutan laksana tikus-tikus yang panik yang
bersembunyi di bawah lobang-lobang gunung. Orang-orang Quraisy mendengar
kegiatan pasukan Islam. Pasukan Quraisy menarik diri saat mereka mendekati
Dahran, sementara pasukan Muslim berada di Badar. Mereka menunggu pertemuan
yang disepakati di Uhud. Orang-orang Muslim menyala-kan api selama delapan hari
sebagai bentuk tantangan dan menunggu kedatangan kaum kafir sehingga ketika
mereka (kaum kafir) telah pergi, maka citra kaum Muslim pun terangkat setelah
mereka menerima kepahitan dalam peperangan Uhud.
Kaum
Muslim menoleh ke arah utara jazirah Arab setelah menetapkan kewibawaan mereka
di selatan. Kabilah di sekitar Daumatul Jandal dekat dengan Syam merampok di
tengah jalan dan merampas kafilah yang berlalu di situ, bahkan kenekatan mereka
sampai pada batas di mana mereka berpikir untuk menyerbu Madinah. Oleh karena
itu, Rasulullah saw keluar bersama seribu orang Muslim yang mereka bersembunyi
di waktu siang dan berjalan di waktu malam, sehingga setelah lima belas malam
beliau sampai ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh mereka
lalu mereka menggerebek tempat itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan
kedatangan kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita
akan mengetahui bahwa alat komunikasi yang dimiliki oleh Rasulullah saw sangat
unggul sebagaimana alat pertahanan beliau pun sangat unggul. Serangan mendadak
yang dilakukan oleh pasukan Rasulullah saw menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan
yang luar biasa. Sistem pertahanan yang luar biasa sebagaimana kedatangan
pasukan yang secara tiba-tiba itu menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk
menyusup.
Demikianlah,
terjadilah hari-hari pertempuran militer. Belum lama Nabi saw meletakkan baju
besinya, dan beliau kembali membangun pribadi kaum Muslim sehingga beliau
terpaksa kembali memakai baju besinya dan kembali berperang. Ketika musuh-musuh
Islam yang berada di sekelilingnya melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak
dapat menandingi kemampuan kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara
baru untuk memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat
syaraf dengan cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan
Al-Qur'an al-Karim dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah peperangan
Bani Musthaliq yaitu peperangan yang membawa kemenangan yang cepat bagi kaum
Muslim, terjadilah kesalahpahaman dan pertengkaran di antara sahabat-sahabat
yang biasa mengambil air di mana salah seorang mereka berteriak: "wahai
kaum Muhajirin," dan yang lain berteriak: "Wahai kaum Anshar."
Peristiwa
yang sangat sepele itu dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu Abdullah
bin Ubai. Abdullah bin Ubai memprovokasi orang-orang Anshar untuk menyerang
kaum Muhajirin. Ia ingin membangkitkan luka-luka jahiliah yang lama yang telah
dibuang dan telah dikubur oleh Islam, Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai
adalah, "sungguh mereka telah menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari
dan seandainya kita telah kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai
akan dapat mengusir orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid
bin Arqam menyampaikan kalimat si munafik itu kepada Nabi saw, di mana kalimat
itu berisi provokasi terhadap orang-orang Anshar untuk menyerang kaum
Muhajirin. Ubai menginginkan agar mereka berpecah belah dan agar kesatuan
mereka runtuh. Si Munafik itu segera datang kepada Rasul saw dan menafikan apa
yang dikatakannya. Orang-orang Muslim secara lahiriah membenarkan perkataan si
munafik itu dan mereka justru menuduh Zaid bin Arqam salah mendengar. Tetapi
hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi dari Nabi saw sehingga peristiwa itu
sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau mengeluarkan perintah agar para sahabat
pergi ke suatu tempat yang tidak biasanya mereka lalui. Kemudian beliau pergi
bersama sahabat di hari itu sampai waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini,
mereka memasuki waktu pagi. Kepergian yang singkat dan tiba-tiba itu mampu
menepis kebohongan yang dirancang oleh si Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu
kebohongan yang bertujuan untuk membakar persatuan kaum Muslim ketika ia
berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah rumah sang Nabi saw.
Ketika
Nabi masih memiliki kekuatan yang menakutkan bagi yang mencoba melawannya, maka
mereka pun melakukan berbagai penipuan dan, makar. Dan salah satu yang menjadi
obyek tipu daya itu adalah istri beliau, yaitu Aisyah. Alkisah, Aisyah pada
suatu hari pergi untuk memenuhi hajatnya lalu dilehernya terdapat
anting-anting. Setelah ia memenuhi hajatnya, anting-anting itu terjatuh dari lehernya
dan ia tidak mengetahui. Ketika Aisyah kembali dari kafilah yang telah
siap-siap untuk pergi, ia kembali mencari kalungnya sampai ia menemukannya.
Sementara itu orang-orang yang membawanya dalam tandu (haudaj) mengira Aisyah
sudah berada di dalamnya. Mereka tidak ragu dalam hal itu karena memang berat
badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan
Nabi berjalan dan membawa tandu, sedangkan Aisyah tidak ada di dalamnya. Aisyah
kembali dan tidak mendapati pasukan di mana mereka telah pergi. Aisyah merasa
heran atas kepergian pasukan yang begitu cepat. Aisyah merasa takut saat ia
berdiri sendirian di padang gurun. Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di
tempatnya di mana di situlah untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat
pakaiannya sambil berkata dalam dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak
ada dan karena itu mereka akan kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara
itu, Sofwan bin Mu'athal juga tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia
berjalan dari arah yang jauh lalu ia melihat bayangan orang yang tidak begitu
jelas. Sofwan mendekat dan tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang berdiri di
hadapan Aisyah. Ia melihat Aisyah sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab
(jilbab) atas istri-istri Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya
kita milik Allah SWT dan kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah
Aisyah tidak menjawab.
Sofwan
mundur dan mendekatkan untanya kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda
menaikinya." Aisyah pun menaikinya. Kemudian Sofwan membawanya pergi dan
mencari pasukan yang telah meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi sedang
beristirahat. Para sahabat mengira bahwa Aisyah masih berada dalam tandu.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika Aisyah datang kepada mereka bersama Sofwan
yang menuntun untanya.
Tokoh
munafik Abdullah bin Ubai segera memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia membuat
kisah bohong yang terkesan menuduh istri Nabi melakukan pengkhianatan. Abdullah
bin Ubai pandai memilih beberapa sahabat yang dikenalinya sebagai orang-orang
yang mudah percaya dan cenderung membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah,
atau ia mengetahui bahwa di antara mereka dan Aisyah terdapat kedengkian
sehingga mereka suka jika tersebar kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah
pemimpin munafik itu berhasil menjerat beberapa sahabat dalam tali
kebohongannya, di antaranya Hasan bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang
dipanggil Hamnah binti Jahasv. yaitu saudara perempuan Zainab binti Jahasy
istri Rasulullah saw. Ketiga orang itu tertipu dengan kebohongan tersebut lalu
mereka menyebarkannya sehingga orang-orang yang terjerat dalam kebo hongan itu
mengatakan apa saja yang mereka inginkan. Akhirnya. pasukan pun berguncang
dengan isu itu. Sementara itu, Aisvah tidak mengetahui sedikit pun tentang hal
tersebut. Isu tersebut bertujuan untuk menjatuhkan Islam dan melukai perasaan
RasuhiHah saw dan itu termasuk peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran
yang dibawanya. Begitu juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak
konsekuen dengan akidah yang mereka yakini dan secara tidak langsung ia juga
menyerang kesucian rumah tangga Aisyah.
Pasukan
kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh sakit, namun ia tidak mengetahui isu-isu yang
dikatakan tentang dirinya. Kemudian Rasulullah saw mendengar hal itu
sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan ibunya pun mendengarnya, namun tak seorang
pun di antara. mereka yang memberitahu Aisyah. Begitu juga Rasul saw tidak
menceritakan peristiwa itu di hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di
mana beliau tidak lagi menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah
sakit. Ketika beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ, beliau
berkata: "Bagaimana keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari mengucapkan
kata-kata itu. Ketika Aisyah melihat perubahan sikap Rasul saw, ia mulai marah.
Pada suatu hari ia berkata pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan aku,
niscaya aku akan pindah ke tempat ibuku." Beliau menjawab: "Itu tidak
ada masalah."
Aisyah
pun pindah ke tempat ibunya dan ia tidak mengetahui sama sekali apa yang
sebenarnya terjadi padanya. Setelah melalui lebih dari dua puluh malam, Aisyah
sembuh dari sakitnya dan ia pun belum mengetahui hal-hal yang dikatakan tentang
dirinya. Umul mu'minin Aisyah menceritakan bagaimana ia mengetahui isu bohong
tersebut dan bagaimana Allah SWT membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami
adalah kaum Arab di mana kami tidak mengambil di rumah kami tanggung jawab ini
yang biasa di ambil oleh orang-orang Ajam. Kami membencinya. Kami keluar untuk
menikmati keluasan kota. Sementara itu para wanita keluar pada setiap malam
untuk memenuhi hajat mereka. Pada suatu malam, aku keluar bersama Ummu Musthah
untuk memenuhi sebagian keperluanku. Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah
mendengar suatu berita wahai putri Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita
apa itu?" Lalu ia memberitahukan padaku apa-apa yang dikatakan oleh para
penyebar kebohongan. Aku berkata: "Apa ini memang benar?" Ia
menjawab: "Demi Allah, ini benar-benar terjadi." Aisyah berkata:
"Demi Allah, aku tidak mampu memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi
Allah, aku tetap menangis sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku akan
merusak jantungku dan aku berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah SWT
mengampunimu, banyak orang berbicara tentangku namun engkau tidak menceritakan
sedikit pun kepadaku. Ia berkata: "Wahai anakku, sabarlah demi Allah
jarang sekali wanita yang baik yang dicintai oleh seorang lelaki yang jika ia
memiliki istri-istri yang lain (madunya) kecuali wanita itu akan diterpa oleh
berbagai isu."
Aisyah
berkata: "Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan pembicaraannya pada
mereka dan aku tidak mengetahui hal itu." Beliau memuji Allah SWT kemudian
berkata: "Wahai manusia, bagaimana keadaan kaum lelaki yang menyakiti aku
melalui keluar gaku dan mereka mengatakan sesuatu yang tidak benar. Demi Allah,
aku tidak mengenal mereka kecuali dalam kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal
itu pada seorang lelaki yang aku tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di
mana ia tidak memasuki suatu rumah dari rumah-rumahku kecuali ia
bersamaku."
Kemudian
Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan
bermusyawarah dengan keduanya. Usamah hanya melontarkan pujian dan berkata:
"Ya Rasulullah aku tidak mengenal istrimu kecuali dalam kebaikan dan
berita ini hanya kebohongan dan kebatilan," sedangkan Ali berkata: 'Ya
Rasulullah masih banyak wanita yang lain yang dapat kau percaya." Kemudian
Rasulullah saw memanggil Burairah dan bertanya kepadanya, lalu Ali berdiri
kepadanya dan memukulnya dengan keras sambil berkata: "Jujurlah kepada
Rasulullah saw," lalu wanita itu berkata: "Demi Allah, aku tidak
mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak pemah mencela Aisyah kecuali pada suatu
waktu aku sedang membikin adonan roti lalu aku memerintahkannya untuk
menjaganya namun Aisyah tertidur dan datanglah kambing lalu adonan itu dimakan
olehnya."
Aisyah
berkata: "Kemudian datanglah kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku
bersama kedua orang tuaku dan seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan
wanita itu pun turut menangis. Rasulullah saw duduk lalu memuji Allah SWT dan berkata:
"Wahai Aisyah, sungguh kamu telah mendengar sendiri apa yang dikatakan
orang-orang tentang dirimu, maka bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau
telah melakukan keburukan seperti yang diucapkan orang-orang itu, maka
bertaubatlah kepada Allah SWT karena sesungguhnya Allah SWT menerima taubat
dari hamba-hamba-Nya." Aisyah berkata, "demi Allah, itu tidak lain
hanya kebohongan yang dialamatkan kepadaku sehingga membuat air mataku kering.
Aku sama sekali tidak seperti yang mereka katakan," lalu aku menunggu
kedua orang tuaku untuk mengatakan tentang diriku namun mereka justru terdiam.
Aisyah berkata, "demi Allah aku merasa sebagai seorang yang hina yang
tidak layak diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku
hanya berharap agar Nabi saw melihat kebohongan yang dialamatkan kepadaku itu
sehingga ia memastikan terbebasnya aku darinya."
Aisyah
berkata: "Ketika aku tidak melihat kedua orang tuaku berbicara aku berkata
kepada mereka tidakkah kalian menjawab apa yang dikatakan Rasuullah saw?"
Mereka berkata: "Demi Allah kami tidak mengetahui apa yang harus kami
jawab." Aku mengetahui bahwa aku bebas dari tuduhan itu. Tiba-tiba
Rasulullah saw mengusap keringat dari wajahnya sambil berkata:
"Bergembiralah wahai Aisyah karena sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan
ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan itu," lalu aku berkata:
"Segala puji bagi Allah SWT." Kemudian beliau keluar menemui para
sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa
di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu, maka baginya azab yang besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril
turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan
yang ditujukan kepadanya. Dan gagallah peperangan psikologis menentang kaum
Muslim dan rumah tangga Rasulullah saw, dan kelompok-kelompok kafir meyakini
bahwa mereka harus menggunakan cara baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian
Rasulullah saw kembali memasuki pergulatan menentang peperangan fisik. Peperang
Khandaq termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum musyrik, dan
Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh Yahudi dan
pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta Yahudi berfatwa bahwa
agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan berhala lebih baik daripada
agama Muhammad yang penyembahan hanya layak ditujukan kepada Tuhan Yang Esa
sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik
kaum Yahudi berhasil menyatukan kelompok-kelompok orang kafir dan
mengerahkannya untuk menentang kaum Muslim. Kemudian mereka akan menyerang
Madinah dengan jumlah kekuatan sepuluh ribu tentara. Akhirnya, berita itu
sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika mendengar orang-orang Yahudi
bersatu—padahal mereka mempunyai azas agama yang menyeru kepada tauhid—bersama
kaum musyrik menentang agama tauhid. Nabi saw mengetahui bahwa perjanjian telah
lama membelenggu orang-orang Yahudi sehingga hati mereka menjadi keras dan hari
telah menjauhkan antara mereka dan sumber yang jernih yang dipancarkan oleh
Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang kulitnya bergambar tauhid
namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan yang lebih penting dari itu adalah
kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan kaum musyrik.
Nabi
saw menyadari bahwa beliau sekarang menghadapi ancaman dan pasukan yang besar.
Pertempuran secara terbuka tidak memberi keuntungan bagi Muslimin. Beliau mulai
berpikir bagaimana cara mempertahankan Madinah tanpa harus keluar darinya. Kali
ini taktik militernya berubah di mana sebelum itu beliau keluar dari Madinah
dan menjauhinya serta menyerang kelompok-kelompok yang berencana menyerbu
Madinah. Kali ini bentuk ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah
karena mengikuti perbedaan ancaman itu.
Kemudian
beliau mengadakan pertemuan militer bersama para tentaranya. Beliau ingin
mendengar berbagai usulan tentang bagaimana cara mempertahankan Madinah. Lalu
Salman al-Farisi mengusulkan agar Nabi menggali suatu parit yang dalam di
sekeliling Madinah yaitu parit yang seperti bendungan alami yang dapat menahan
laju banjir yang ingin maju, suatu parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu
melewatinya dan kaum Muslim dapat mempertahankan diri dari belakangnya.
Mula-mula usulan itu terkesan agak mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi
menyetujui usulan Salman itu. Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan,
beliau mengetahui bahwa situasi cukup genting dan karenanya ia menuntut usaha
keras untuk dapat melaluinya. Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk
menggali parit di sekitar Madinah. Pekerjaan itu sangat berat dan saat itu
musim dingin di mana udara sangat dingin. Di samping itu, kaum Muslim sedang
mengalami krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun demikian, penggalian
parti tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw terjun langsung untuk membuat
galian dan memikul tanah.
Kaum
Muslim dengan semangat yang luar biasa dapat menyelesaikan penggalian parit itu
meskipun kehidupan sangat keras dan mereka merasakan kelaparan karena
kekurangan harta. Namun semangat pasukan Islam tetap meninggi. Mereka percaya
akan datangnya kemenangan dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah
SWT berfirman:
"Dan
tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka
berkata: 'lnilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.' Dan benarlah
Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka
kecuali iman dan ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan
Quraisy mulai mendekati Madinah dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi jazirah
cinta di tengah-tengah lautan kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah
dan berusaha menenggelamkannya dari dalam. Kemudian bertebaranlah panah-panah
kaum Muslim untuk menghalau pasukan kafir yang cukup banyak. Pasukankafir mulai
berputar-putar di sekeliling parit dalam keadaan bingung: apa gerangan yang
telah dilakukan pasukan Islam, bagaimana mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda
musuh berusaha melalui parit itu namun pasukan Muslim segera menyerangnya.
Demikianlah peperangan Ahzab terus berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah
peperangan urat syaraf. Pasukan musuh mengepung Madinah selama tiga minggu di
mana serangan demi serangan terus dilakukan sepanjang siang dan mata mereka
tetap terjaga sepanjang malam. Bahkan saking dahsyatnya pertempuran itu
sehingga kaum Muslim tidak mengetahui apakah pasukan musuh berhasil menduduki
Madinah atau tidak, dan apakah para musuh berhasil menembus lubang yang mereka
bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu)
ketiha mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketiha tidak
tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan
kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah
diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang
dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan
semakin buruk di mana orang-orang Yahudi membatalkan perjanjian mereka dengan
kaum Muslim dan mereka bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah Bani Quraizhah
membatalkan perjanjiannya dan mereka lupa terhadap pengkhianatan bani Nadhir
dan pembalasan Nabi saw terhadap mereka. Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum
Muslim benar-benar mengalami ujian yang berat di mana pikiran mereka
benar-benar kacau. Ketika keadaan mencapai puncaknya kaum Muslim bertanya
kepada Rasul saw, "apa yang harus mereka katakan?" Rasulullah saw
memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya Allah, kalahkanlah mereka dan
tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa
tersebut keluar dari mulut-mulut kaum yang telah melaksanakan kewajiban mereka
dan telah membuat mukjizat mereka dalam menghalau serangan. Jadi, mereka tidak
memiliki apa-apa selain doa dan Allah SWT-lah Yang Maha Mendengar permintaan
hamba-Nya dan Dia yang mengabulkannya. Dia mengetahui orang yang melaksanakan
kewajibannya dan akan mengabulkan orang yang berdoa.
Akhirnya,
kaum Muslim benar-benar mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian perjalanan
pertempuran bergerak dengan cara yang tidak bisa dipahami. Para penyerang
menyadari bahwa mereka sebenamya telah kalah di mana mereka telah menyerang
selama tiga pekan namun serangan tersebut tidak memberikan hasil apa pun.
Mereka telah mencurahkan berbagai upaya namun tanpa memberikan hasil yang
diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap begini selama tiga tahun.
Kemudian
datanglah suatu malam di mana kaum Muslim belum pernah melihat malam segelap
itu dan angin sekencang itu, bahkan saking kerasnya angin sampai-sampai
suaranya laksana halilintar. Bahkan saking gelapnya malam itu sehingga tak
seorang pun di antara umat Islam yang mampu melihat jari-jari tangannya atau
berdiri dari tempatnya karena saking dinginnya cuaca. Kemudian Nabi saw datang
menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak mampu melihatnya meskipun beliau
berdiri di sebelahnya. Nabi saw bertanya: "Siapa ini?" Hudaifah
menjawab: "Aku adalah Hudaifah." Nabi saw berkata: "Oh, kamu
Hudaifah." Hudaifah tetap tinggal di tempatnya karena ia khawatir jika ia
berdiri ia akan tidak mampu karena saking dinginnya dan akan menabrak Rasul
saw. Rasul saw berkata kepada Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting
tentang keadaan kaum yang menyerang kita."
Hudaifah
sebagai mata-mata dari pasukan Islam merasakan ketakutan di mana ia tidak mampu
menahan cuaca yang begitu dingin, lalu bagaimana ia dapat berdiri dan keluar
dari Madinah menuju ke tempat pasukan musuh dan menyusup di tengah barisan
mereka lalu kembali kepada Nabi saw dengan membawa berita tentang mereka.
Hudaifah bangkit dari tempatnya ketika Nabi saw selesai dari pembicaraannya.
Nabi saw memberikan doa kebaikan kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan
keimanannya mengalahkan kegelapan malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar dari
Madinah dan menyusup di tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya
untuk tidak melakukan tindakan apa pun selain mendapatkan berita dan kembali.
Inilah tugas utamanya. Hudaifah sampai di tengah-tengah musuh. Mereka berusaha
menyalakan api namun angin segera mematikannya sebelum menyala dan di dekat api
itu terdapat seorang lelaki yang berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah
api dengan maksud untuk menghangatkannya. Lelaki itu adalah pemimpin kaum
musyrik yaitu Abu Sofyan.
Melihat
itu, Hudaifah segera memasang anak panah pada busur yang dibawanya dan ia ingin
memanahnya. Seandainya ia berhasil membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa
tenang dengannya, namun ia ingat pesan Rasulullah saw kepadanya agar ia tidak
melakukan tindakan apa pun. Kemudian ia kembali meletakkan anak panahnya dan
menyembunyikannya.
Abu
Sofyan berkata: "Wahai orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak
menguntungkan bagi kalian, maka pergilah kalian karena aku pun akan
pergi." Abu Sofyan melompat ke atas untanya lalu mendudukinya dan
memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah
kembali menemui Rasulullah saw dengan membawa berita mundumya pasukan Ahzab dan
gagalnya serangan mereka. Ketika mendengar peristiwa penarikan mundur pasukan
musuh, Rasulullah saw berkata: "Sekarang kita akan menyerang mereka dan
mereka tidak akan menyerang kita." Belum lama pasukan Ahzab kembali ke
negerinya dengan tangan hampa sehingga beliau keluar dari Madinah bersama
pasukannya menuju ke kaum Yahudi Bani Quraizhah. Orang-orang Yahudi itu telah
mengkhianati peijanjian mereka bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di
saat-saat genting. Oleh karena itu, mereka harus membayar biaya pengkhianatan
mereka sekarang.
Nabi
saw memerintahkan agar para sahabat tidak melaksanakan salat Ashar kecuali di
Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami bahwa perintah tersebut berarti mereka
akan menerobos benteng kaum Yahudi sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang
Yahudi menelan kekalahan pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar
ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus
adalah sekutu orang-orang Yahudi Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi
mengharap bahwa mereka dapat memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini
sebagaimana kaum Aus membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan
terhadap sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan ia sedang dirawat
di kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar
ia bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan
orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka.
Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba
waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa
peduli dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki
dibunuh dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi
pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya:
"Sungguh engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah SWT
dari tujuh langit."
Sa'ad
mengetahui bahwa perantaraan, permohonan, harapan, dan menjaga berbagai
pertimbangan lazim selayaknya berada di suatu genggaman, dan masa depan Islam
berada di genggaman yang lain. Yahudi Bani Quraizhah adalah penyebab
berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka dan berbagai tipu daya mereka
berusaha untuk memblokade Islam dan menghancurkannya. Oleh karena itu, kini
telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa
memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah
kaum Yahudi dibersihkan dari Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan
pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian yang beliau
lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk melaksanakan umrah
dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama seribu empat ratus kaum
lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul Haram guna melaksanakan umrah.
Ketika mereka sampai di Hudaibiyah pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang
ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu
para sahabat berkata: "Oh unta itu malas." Nabi saw berkata:
"Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat yang menahan laju gajah menuju
Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy membuat suatu rencana dan mereka
meminta agar aku menyambung tali silaturahmi niscaya aku akan
menyetujuinya."
Nabi
saw memerintahkan para sahabat agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim
beristirahat di sana dengan harapan mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi.
Peristiwa itu bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak
seorang pun dari kaum Muslim dapat memasukinya. Semua kaum Quraisy telah keluar
untuk memerangi kaum Muslim. Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu
beliau memberitahu mereka bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun
beliau ingin melakukan urnrah sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT
dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan
perjanjian bersama kaum Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan sampai
kaum Muslim memasuki Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali
pada tahun depan.
Datanglah
juru runding kaum Quraisy lalu Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia
menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang intinya pelaksanaan perdamaian dan
penarikan mundur pasukan Muslim. Nabi saw menyetujui semua syarat-syarat
perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kaum
Muslim di mana itu dianggap sebagai titik kemunduran politik dan militer kaum
Muslim, dan yang menambah kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak
melibatkan seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal
ini. Tidak biasanya beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan beliau
pergi menemui kaum musyrik dan bersikap sangat lembut kepada mereka, dan beliau
tidak kembali kecuali membawa berita persetujuan dengan perjanjian yang di
prakarsai orang-orang musyrik, dan beliau pun membubuhkan tanda tangan di
atasnya.
Para
sahabat bergerak untuk menentang Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada beliau,
"bukankah engkau utusan Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah
musuh-musuh kita kaum musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin Khatab kembali bertanya: "Mengapa
kita harus menerima penghinaan dalam agama kita?" Umar ingin mengungkapkan
sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita harus mundur kalau kita
berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima syarat-syarat perjanjian yang
justru menguntungkan kaum musyrik? Apakah kita takut terhadap mereka?"
Mendengar
berbagai protes yang disampaikan para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan
jawaban yang unik bagi mereka di mana beliau berkata: "Aku adalah hamba
Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia
tidak mungkin akan menyia-nyiakan aku." Makna dari kalimat beliau adalah,
"taatilah apa yang telah aku lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan
hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan
hari menetapkan bahwa perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di
tengah-tengah sahabat itu justru membawa kemenangan politik paling gemilang
yang pernah dicapai oleh umat Islam. Kemenangan tersebut diperoleh sebagai
hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw yang mengalahkan kelihaian politik kaum
Quraisy. Kaum Quraisy telah memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim
kembali ke tempat mereka tanpa memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun
hikmah Nabi saw justru mampu mencapai pengelihatan yang tidak dapat dijangkau
oleh kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika saat ini perjanjian
tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka setelah berlangsung
beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan yang spektakuler.
Suhail
bin Amr adalah wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah
juru tulis dalam perjanjian itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata
kepada Ali: "Tulislah dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku tidak mengenal ini. Tapi tulislah
dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Dengan
nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala utusan Quraisy itu tidak berarti
sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok antara dengan namamu Allah
dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang selain niat si
pembicara.
Nabi
saw berkata kepada Ali: "Ini adalah perundingan antara Muhammad saw utusan
Allah dan Suhail bin Amr." Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin
Amr berkata: "Seandainya aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah
niscaya aku tidak akan memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama
ayahmu." Nabi berkata kepada Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara
Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr."
Tampaknya
itu adalah kemunduran yang kedua dan dengan pandangan yang sekilas tampak
menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan suatu tujuan yang
penting yaitu tujuan yang belum terungkap saat itu. Alhasil, semuanya terjadi
dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa Muhammad bin Abdillah
dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk menghentikan peperangan selama
sepuluh tahun di mana hendaklah masing-masing mereka memberikan keamanan
terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat di antara orangorang Quraisy
seseorang yang masuk Islam lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa izin
walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy. Sebaliknya,
jika ada orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka tidak ada keharusan
bagi orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat
tersebut sangat menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy
memaksakan kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali
melanjutkan tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun ini dan
tidak memasukinya dan jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar darinya,
maka beliau dapat memasukinya untuk melaksanakan umrah selama tiga hari dan
setelah itu beliau harus meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan
kaum Muslim dan terkesan membingungkan.
Di
tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang menambah
penderitaan dan kebingungan Muslimin di mana anak dari juru runding Quraisy
meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia masuk Islam dan ingin bergabung
dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera bangkit menyusulnya bahkan
memukulnya dan mengembalikannya kepada kaumnya. Orang Mukalaf itu segera
berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum Muslim agar mereka
menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka tidak mengubah
agamanya. Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk
bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah SWT akan
menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan
kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian
dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian
mereka.
Akhirnya,
anak Muslim itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian
Selesailah penandatanganan perjanjian antara pihak kaum Muslim dan pihak kaum
musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian itu, Rasulullah saw memerintahkan
para sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban dan mencukur rambut mereka
(tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke Madinah. Namun tak seorang pun
bangkit menyambut perintah tersebut, lalu beliau mengulangi perintahnya ketiga
kali. Di tengah-tengah kaum Muslim yang tampak membisu karena ketegangan dan
kesedihan, beliau menyembelih unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur
rambutnya dan beliau tidak berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat
mengetahui bahwa Nabi saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan
tahalul dari umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan
memotong rambut mereka.
Perjalanan
hari menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh
kaum Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum
kafir di jazirah Arab mulai runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu.
Kaum Quraisy di anggap sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera
penentangan terhadap Islam, maka ketika tersebar berita perjanjian mereka
bersama kaum Muslim, maka padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja
untuk mereka dan bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru
jazirah.
Saat
aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka kaum Muslim mengalami peningkatan
aktivitas di mana mereka berhasil menarik orang-orang yang masih memiliki
kemampuan untuk melihat kebenaran. Sejak dua tahun dari masa penandatanganan
perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin bertambah lebih dari jumlah
sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul saw keluar ke Hudaibiyah
beliau ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun ketika beliau keluar
pada tahun penaklukan kota Mekah beliau disertai dengan sepuluh ribu Muslim.
Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua tahun dari perundingan tersebut.
Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa ini adalah dikarenakan hikmah
sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw keluar sebagai pemenang dalam
pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya merugikan kaum Muslim
kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum Quraisy. Barangsiapa
murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, maka hendaklah mereka
melindunginya karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya, dan barangsiapa
yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum Muslim, maka hendaklah
mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia tinggal di dalamnya sebagai
mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari kaum Quraisy untuk
menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri di
tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum
lama waktu berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw
dan mengharap kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang masuk Islam
daripada membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum Quraisy.
Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka diktekan
dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas. Perundingan itu justru menguatkan
barisan Nabi savv.
Demikianlah
Nabi saw terus menjalani mata rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya di
mana kehidupan beliau yang pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan.
Nabi saw menikahi sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri
tersebut merupakan keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena
berhubungan dengan sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan
para pengikutnya untuk menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang
bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan
untuk hanya puas dengan satu istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat
berbuat adil.
Kaum
orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba untuk menghina Nabi dan memojokkannya,
dan salah satu cela yang mereka manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan
sembilan wanita. Kita mengetahui bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana
dengan sebab-sebab politik atau kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah
Islam. Dan yang terkenal dari sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah
dengan Sayidah Khadijah saat beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah
berusia empat puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri
yang lain sampai Khadijah mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah
meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah
sebelum beliau diutus untuk menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama
Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban
kenabian dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada manusia, pengorbanannya
terhadap Islam dan perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk menikah lebih
dari satu orang istri sampai mencapai sembilan orang istri. Perkawinan beliau
dengan Aisyah yang saat itu masih belia merupakan usaha untuk menjalin ikatan
dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan perkawinan beliau dengan Hafshah
meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin ikatan
dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah dengan Ummu Salamah, janda dari
pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan Allah SWT dan wanita itu
merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah dan hijrah ke
Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian menghadapi berbagai
persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di rumah kenabian.
Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan terhadap
keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta kesendiriannya
dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau dengan Zainab bin
Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah pernikahan itu datang
dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang terkenal di kalangan
jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat Rasul. Jadi ia termasuk
dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan nasab yang dimilikinya yang
karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah dengan Zaid bin Harisah,
seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau
nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya sehingga ia dipanggil
dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya menyetujui pendapat
Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan Zaid:
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang
mukimin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhahai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan
yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak
semula tampak jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir. Zainab
tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan
bersama seorang wanita yang hatinya jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw
guna mengadu kepada beliau dan meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah
SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu
hendaklah beliau menikahinya. Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan
beliau berbicara kepada Zaid agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan
bersabar. Nabi saw membayangkan apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia
menikahi istri dari anaknya tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru
merupakan sesuatu yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan
dalam Islam tidak ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai
istrinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan
oleh Islam. Rasulullah saw mampu bersabar dan menahan diri saat mendengar
berbagai ocehan yang akan dikatakan oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah
pengorbanan pertama dan terakhir yang beliau persembahkan untuk Islam.
Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:
"Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah
terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang kamu menyembunyikan di
dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia,
sedang Allah-lah yang lebih berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu
dengan dia supaya tidak ada heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi)
istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan
beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan
rahmat serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah
kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin
Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.
Ia
berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT.
Kemudian suaminya mati meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan.
Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya
merupakan nilai lebih yang menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk
menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada
suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw.
Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha
menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya. Melihat sikap anaknya itu, ayahnya
bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai membenciku?" Dengan penuh
keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat tidur Rasulullah saw dan
engkau adalah seorang musyrik, maka engkau tidak boleh menyentuhnya."
Adapun
Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah
binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq. Bani Musthaliq
menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim lalu kedua anak perempuan
raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi tawanan. Pemikahan Nabi dengan
kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh orang-orang yang kalah itu dan sebagai
ajakan agar kaum Muslim memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim
menolak untuk bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan
kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan
beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan persaudaraan
sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan namun ia sebagai
usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari Islam adalah rahmat dan
cinta.
Jadi
Nabi saw menikahi wanita-wanita dari orang-orang yang kalah itu dengan maksud
agar kebebasan dan kemuliaan kembali kepada keluarga mereka dan mereka dapat
masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian beliau menikah dengan Maryam
al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu
merupakan simbol tali kasih yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan
Masehi dan sebagai bentuk hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya
pernikahan dengan wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam
memberikan anak kepada Nabi saw yang bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak
para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu.
Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa
pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria adalah para pengikut Al-Qur'an dan para
pembawa Islam, bukan anak-anak dari sulbinya.
Salah
jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu untuk
mencari kesenangan meskipun halal. Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain
namun beliau lebih memilih untuk merasakan penderitaan berjihad, menegakkan
hukum, dan kesabaran. Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw
hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi yang lebih baik daripada orang yang
termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan
beliau di rumahnya penuh dengan kezuhudan yang luar biasa sehingga sebagian
istrinya mengeluhkan keadaan tersebut. Di antara mereka ada yang berasal dari
keluarga yang kaya seperti keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan
sebagian istrinya bersatu untuk meminta kepada beliau agar beliau menambah
nafkah mereka sehingga Nabi meninggalkan istri-istrinya, lalu tersebarlah isu
yang menyatakan bahwa beliau telah menceraikan semua istrinya. Kemudian
turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat yang memberikan pilihan kepada istri-istri
Nabi untuk tetap menjadi istri beliau atau diceraikannya). Turunlah Al-Qur'an
al-Karim memberikan pilihan pada istri-istri Nabi antara menjalani kehidupan di
rumah kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima perceraian. Allah SWT
berfirman:
"Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan
dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku
ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka
Sesungguhnya Allah menyediakan siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang
besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah
fitnah. Demikianlah pergulatan di rumah Rasul saw. Akhirnya, istri-istri beliau
memilih kehidupan zuhud dan bersabar serta akhirat daripada kehidupan dunia.
Permintaan istri-istri nabi tidak melebihi hal-hal yang bersifat mubah, namun
Rasul saw merupakan teladan bagi seluruh umat, karena itu beliau harus menjadi
teladan bagi umat sehingga beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak
diemban oleh seorang yang memegang tampuk kepemimpinan Muslimin. Allah SWT
telah membalas pengorbanan istri-istri Nabi saw dalam bentuk mengangkat
kedudukan mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari kaum mukmin. Allah SWT
berfirman:
"Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri
dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan,
sebagai penegasan terhadap keibuan spiritual ini, Islam mewajibkan hijab yang
teliti kepada mereka, yaitu suatu hijab yang tidak diberlakukan seperti itu
kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi saw melanjutkan dakwahnya. Beliau mengirim
surat ke raja-raja dan para penguasa di mana beliau ingin menunjukkan
universalitas ajaran Islam. Nabi saw mengajak Kaisar Romawi untuk mengikuti
Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir Damaskus mengajaknya untuk memeluk
Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir Basrah bagian dari wilayah Romawi dan
mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan beliau juga mengirim surat ke penguasa
Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam, dan beliau juga menulis surat ke
Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk mengikuti Islam. Beliau juga mengirim
utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya untuk mengikuti Islam.
Lalu
berbagai reaksi disampaikan berkenaan dengan surat-surat Nabi itu. Di antara
mereka ada yang berusaha menyampaikan kepada pembawa surat bahwa ia masuk Islam
dan mengembalikannya dengan hadiah, dan di antara mereka ada yang merobek-robek
surat itu dan di antara mereka ada yang membalas surat itu dengan jawaban yang
baik, dan di antara mereka ada yang menerima kebenaran. Demikianlah hari
berlalu dalam pergulatan yang tidak pernah padam, suatu pergulatan yang
dipimpin oleh Nabi sehingga beliau menaklukkan Mekah dan menyucikan jazirah
Arab. Akhirnya, manusia masuk dalam agama Allah SWT dalam keadaan berbondong-bodong,
dan Allah SWT menyempurnakan agama bagi kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan
haji wada' (haji yang terakhir) dan turunlah kepada beliau wahyu di Arafah
sebagaimana firman-Nya:
"Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS.
al-Maidah: 3)
Ayat
tersebut dibacakan kepada Abu Bakar sehingga ia menangis. Allah SWT merasa
bahwa telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi Rasul-Nya. Aisyah berkata
kepada anak-anak yang berteriak dan bermain-main di luar rumah: "Diamlah
kalian karena Rasulullah saw sedang sakit." Anak-anak itu pun terdiam dan
mereka merasakan ketakutan yang luar biasa. Pada hari-hari terakhir, Rasulullah
saw tidak lagi bercanda dengan mereka sebagaimana yang biasa beliau lakukan.
Mereka
memperhatikan bahwa kepucatan yang aneh menyelimuti Nabi saw yang biasanya
wajah beliau dipenuhi dengan senyuman hingga wajahnya laksana lempengan emas.
Nabi saw yang terakhir masuk dalam rumahnya dan hampir saja beliau tidak kuat
menahan langkah kedua kakinya. Beliau memasuki rumahnya dan bersandar kepada
tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu Thalib. Beliau merasakan keletihan dan
kesakitan. Kemudian Aisyah menidurkan beliau di atas ranjangnya yang kasar dan
Aisyah meletakkan tangannya di atas kening beliau. Kepala beliau tampak panas
karena saking hebatnya demam. Aisyah berkata dalam keadaan kedua matanya
mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah apakah engkau
merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum untuk menenangkan Aisyah lalu beliau
tertidur. Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw berbagai gambar hidup:
Jibril turun kepada beliau dengan membawa wahyu di gua Hira. Beliau telah
melewati waktu yang diberkati selama dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak
seperti mimpi. Bahkan empat puluh tahun yang mendahuluinya tampak seperti
gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala
sesuatu menjadi mudah bagi Allah SWT dan Rasulullah saw telah berhasil melalui
berbagai penderitaan dengan penuh kesabaran, bahkan beliau tidak pernah
mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan akidah kepada para pengikutnya dengan
penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi mulia dan benderanya semakin
berkibar. Kemudian beliau bangun karena melihat tangisan yang tersembunyi dari
Aisyah. Beliau membuka kedua matanya dan melihat wajah Aisyah sambil beliau
sendiri berusaha melawan rasa pusing, demam, dan sakit yang dirasakannya.
Beliau kembali tersenyum untuk menenangkan Aisyah dan beliau kembali memejamkan
matanya dan tidak sadarkan diri. Apa gerangan yang menyebabkan Aisyah menangis?
Tidakkah Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang berat dengan penaklukan Mekah
dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai
gambar hidup dan aktual melayang-layang dalam memori Nabi saw. Beliau mengingat
bagaimana tindakan orang Quraisy ketika membantalkan perjanjian Hudaibiyah dan
mereka memerangi Khaza'ah yang saat itu bersekutu dengan kaum Muslim dan
akhirnya mereka membunuh semua sekutu kaum Muslim di Baitul Haram. Kemudian
beliau berjalan bersama pasukan yang berjumlah sepuluh ribu di mana semua
pasukan telah siap, dan tentara Muslim turun dari gunung Mekah laksana air bah
yang tidak berhenti sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa tombak,
panah, dan pedang; telah lewatiah masa di mana Rasulullah saw memimpim pasukan
yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar. Di tengah-tengah pasukan
besar tersebut yang berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw menunggangi untanya
dan beliau menundukkan kepalanya dengan penuh rendah diri di hadapan Allah SWT
sampai-sampai kepalanya hampir menyentuh punggung unta yang dinaiki. Pintu
Mekah terbuka untuk pasukan ini.
Para
pemimpin Mekah dan pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri. Kalimat Allah SWT
semakin meninggi di dalamnya. Nabi saw memasuki Baitul Haram lalu beliau
berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau menghancurkan berbagai patung yang
berbaris di sekitarnya, lalu beliau memukulnya dengan kampaknya. Kemudian
patung-patung itu berjatuhan dan hancur. Setelah beliau membersihkan masjid
dari berbagai patung dan mengembalikannya sebagaimana yang diciptakan oleh
Allah SWT sebagai rumah tauhid yang mutlak, beliau menoleh kepada orang Quraisy
dan memaafkan mereka dan mengajak mereka untuk kembali ke jalan Allah SWT.
Kemudian tibalah waktu salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan
mengumandangkan Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana
gemanya berputar-putar di antara gunung:
"Allah
Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah. Marilah melaksanakan salat. Marilah menuju
keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya,
rumah itu dikembalikan kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian lagi-lagi arus
berbagai gambar terlintas dalam memorinya: itulah peperangan Hunain dengan
kekalahannya, kemenangannya, dan ganimahnya; Itulah Nabi saw yang memberikan
ganimah terhadap orang-orang yang bergabung dengan Islam hanya dua hari dari
penduduk Mekah, dan mencegah untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar
yang telah memberikan segalanya untuk Islam. Salah seorang di antara mereka
berkata: "Demi Allah, Rasulullah saw telah menemui kaumnya." Sa'ad
bin 'Ubadah berjalan ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum
Anshar sedang marah. Rasul saw bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad
menjawab: "Mereka protes saat engkau membagikan ganimah ini pada kaummu
dan pada seluruh orang Arab namun mereka tidak mendapatkan apa-apa."
Rasulullah saw bertanya kepada Sa'ad bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana
pendapatmu wahai Sa'ad?" Sa'ad berkata: "Aku tidak lain kecuali
seseorang dari kaumku." Rasulullah saw berkata: "Kumpulkanlah
kepadaku kaummu untuk masalah yang penting ini dan jika kalian telah berkumpul,
maka beritahulah aku."
Sa'ad
mengumpulkan seluruh kaum Anshar lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia telah
mengumpulkan mereka. Rasulullah saw keluar menemui mereka dan berdiri di
hadapan mereka sambil memuji Allah SWT dan kemudian berkata: "Wahai
orang-orang Anshar, tidakkah aku datang kepada kalian saat kalian dalam keadaan
sesat lalu Allah SWT memberikan petunjuk kepada kalian, dan kalian menjadi
orang-orang yang fakir lalu Allah SWT memampukan kalian, dan kalian dalam
keadaan bermusuhan lalu Allah SWT menyatukan hati kalian?" Mereka
menjawab: "Benar." Rasulullah saw berkata: "Mengapa kalian tidak
menjawab wahai kaum Anshar?" Mereka berkata: "Apa yang kita akan
katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita akan menjawabnya. Sungguh segala
karunia hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah
saw berkata: "Demi Allah, seandainya kalian mau niscaya kalian akan
mengatakan dan benar apa yang kalian katakan: Engkau datang kepada kami sebagai
seorang yang terusir, maka kami melingdungimu dan engkau datang dalam keadaan
miskin lalu kami menghiburmu dan engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu
kami mengamankanmu dan engkau datang dalam keadaan teraniaya lalu kami
menolongmu." Mereka berkata: "Segala puji dan karunia bagi Allah SWT
dan Rasul-Nya." Rasulullah saw berkata: "Wahai kaum Anshar, apakah
kalian akan marah terhadap harta yang telah aku berikan kepada suatu kaum
dengan harapan agar keimanan meresap dalam hati mereka dan kalian justru
melupakan karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kalian dalam bentuk
nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum Anshar merasa puas ketika manusia
pergi untuk melakukan perjalanan di musim dingin sedangkan kalian pergi dengan
Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya manusia
melalui suatu jalan dan kaum Anshar melalui jalan yang lain niscaya aku akan
melalui jalan kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum
Anshar dan cucu kaum Anshar."
Mendengar
doa itu, kaum tersebut menanggis sehingga jenggot mereka terbasahi dengan air
mata dan mereka berkata: "Kami rela dengan Allah SWT sebagai Tuhan dan
sangat puas dengan pembagian Rasulullah saw." Kemudian Nabi saw pun
meninggalkan mereka dan mereka pergi dalam keadaan puas. Orang-orang Anshar
memahami bahwa Muslim yang hakiki di dunia adalah seorang yang datang di dunia
untuk memberi, bukan untuk mengambil. Nabi saw terbangun dan beliau mendapati
dirinya sendirian di kamar. Suhu tubuh beliau meningkat karena demam, lalu
beliau memanggil Aisyah dan meminta kepadanya untuk membawa air yang dapat
digunakannya untuk mendinginkan tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air kepada Rasulullah
saw sampai demam beliau berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa waktu
berlalu cukup lambat dan berat. Sakit Rasulullah saw semakin meningkat.
Beliau
mulai merasa bahwa tidak mampu lagi untuk salat bersama para sahabat, lalu
beliau memerintahkan Abu Bakar untuk salat bersama mereka. Pada saat Nabi
mengalami antara keadaan terjaga dan tidur, beliau selalu berpikir apa gerangan
yang belum disampaikannya kepada manusia. Beliau telah menyampaikan segala
sesuatu dan telah mengajari mereka segala sesuatu serta telah meninggalkan
sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul
saw mulai mengantuk dan berbagai nostalgia terlintas di kepalanya. Beliau
melihat dirinya di haji Wada'. Selesailah perjanjian yang diberikan kepada kaum
musyrik dan mereka telah dilarang untuk memasuki Masjidil Haram dan sekarang
Nabi saw keluar sebagai pemimpin haji dan mengajari kaum Muslim cara
manasiknya. Rasulullah saw memperhatikan ribuan orang-orang yang bertauhid saat
mereka menuju Baitul Haram dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk
kepadanya. Mereka menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim Khalilullah. Nabi
saw berdiri dan berpidato di tengah-tengah keramaian itu. Nabi saw mulai
merasakan bahwa kehidupannya di dunia sebentar lagi akan berakhir. Beliau
mengetahui bahwa kafilah ini akan pergi sendirian dalam menjalani kehidupan.
Beliau kembali menanamkan nilai-nilai Islam dan wasiat dakwah di jalan Allah
SWT. Setelah berjuang selama dua puluh tiga tahun menegakkan agama Allah SWT, beliau
bertanya kepada mereka: "Apakah aku telah menyampaikan amanat Tuhan?"
Lalu manusia yang hadir saat itu menyatakan bahwa beliau benar-benar telah
menyampaikan dakwah. Beliau memanggil Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya
bagaimana berdakwah kepada manusia di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan
agama kepada mereka.
Kemudian
beliau berwasiat kepadaa Mu'ad saat ia menunggangi kendaraannya sedangkan
Rasulullah saw beijalan di sebelah untanya: "Sesungguhnya orang yang
paling utama di sisiku adalah orang-orang yang bertakwa, siapa pun mereka dan
di mana pun mereka." Nabi saw adalah rahmat bagi semua manusia dan sebagal
cermin yang tertinggi dari cermin persaudaraan dan kepatuhan. Beliau menegakkan
Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam namun beliau menolak segala bentuk
penampilan yang biasa melekat pada seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa
pun. Beliau berkata kepada para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah
SWT dan Rasul-Nya."
Beliau
keluar menemui sekelompok sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan kepada
beliau mereka berdiri. Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka agar tidak
berdiri. Ketika beliau keluar untuk menemui sahabat-sahabatnya dan
murid-muridnya, maka beliau duduk bersama mereka di tempat terakhir yang
ditemukannya. Beliau sangat bersahabat dan ramah dengan para sahabatnya, bahkan
beliau bercanda dengan anak-anak mereka dan mendudukkan mereka di ruangannya.
Beliau memenuhi panggilan orang dewasa maupun anak-anak. Beliau membesuk
orang-orang yang sakit meskipun berada di tempat yang jauh. Beliau menerima
alasan orang yang mempunyai uzur. Beliau mendahului orang yang ditemuinya
dengan salam bahkan beliau mendahului berjabat tangan dengan para sahabatnya.
Ketika
seseorang datang untuk menemuinya saat beliau salat, maka beliau mempersingkat
salatnya dan menanyakan keperluan orang itu. Setelah menyelesaikan keperluan
manusia, beliau kembali menyelesaikan shalatnya. Beliau selalu menebar senyum
kepada kawan dan lawan dan memiliki kepribadian yang paling baik. Ketika beliau
berada di rumahnya, beliau melayani keluarganya. Beliau mencuci bajunya. Beliau
memperbaiki sandalnya dan memberi minum unta. Beliau makan bersama pembantu.
Beliau memenuhi kebutuhan orang yang lemah, orang yang sedih, dan orang yang
miskin. Bahkan kebaikan beliau dan kasih sayangnya sampai pada tingkat di mana
beliau membiarkan cucunya menaiki punggungnya saat beliau sedang shalat.
Kasih
sayang beliau tidak hanya terbatas kepada manusia bahkan juga tertuju pada
binatang dan pohon. Beliau memberi makan binatang dengan tangannya sendiri
bahkan beliau pernah merawat anjing yang sakit. Beliau memerintahkan pasukan
Islam saat berperang demi menegakkan keadilan Islam agar mereka tidak membunuh
anak kecil, orang tua, kaum wanita dan hendaklah mereka tidak mencabut pohon
dan tidak pula merobohkan rumah.
Apa
yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya suatu undang-undang yang mengatur
hubungan antara manusia dan manusia yang lain, dan apa yang dibawa oleh Nabi
saw bukan hanya berisi suatu sistem untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan
kemajuannya, ini semua adalah hal relatif namun beliau datang dengan membawa
peradaban yang abadi yang mengatur hubungan antara manusia dan alam, dan
mengembalikan keserasian di alam wujud sehingga semua berjalan secara seimbang
dan mencapai kesempurnaan menuju Allah SWT. Meskipun pada titik terakhir dari
kehidupannya, beliau masih sibuk mengurusi masa depan dakwah dan beliau sangat
cemas terhadap masa depan agama dan sangat peduli dengan problema kaum Muslim.
Beliau khawatir suatu saat Islam hanya tinggal namanya namun hakikatnya telah
lenyap. Namun sebelum beliau meninggal, Allah SWT telah memperlihatkan kepada
beliau sesuatu yang membuat hati beliau menjadi tenang. Dan di hari Senin dari
bulan Rabiul Awal yang mulia, beliau kembali kepada Tuhannya dalam keadaan
ridha dan diridhai.
Salam
kepadamu ya Rasulullah dan kepada keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: kisah Nabi Muhammad SAW
Ditulis oleh Doa Khusus Spiritual
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://doaspiritual.blogspot.com/2013/01/kisah-nabi-muhammad-saw.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Doa Khusus Spiritual
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment